Inyik Lunak Si Tukang Canang
Pada masa PRRI, Otang, teman Si Dali, pulang kampung. Seperti banyak orang lain sebelum APRI menyerbu. Otang seorang gembong. Juga bukan pegawai negeri. Kalau Otang pulang kampung juga, hanyalah karena alasan khusus. Katanya, karena solider pada Pak Natsir, tokoh idolanya, yang mengirimnya magang di peternakan Amerika di Florida selama setahun. Tapi pengetahuan peternakannya itu tidak bisa dipraktikkan di kampungnya. Selain hambatan sosial budaya, juga oleh masalah modal. Karena itu dia menetap saja di Jakarta. Menunggu perobahan kondisi dan situasi yang akan dapat mengangkat martabat dirinya.
Katanya, betapa dia tidak akan solider. Dari seorang berayah pemilik warung, lalu berkesempatan melihat Amerika yang serba wah seperti yang diangankannya ketika nonton film-filmnya. Bahkan lebih daripada solider itu, ialah karena perasaan malu pada diri sendiri bila tidak solider. Otang menikah sebelum dia ke Amerika. Alasan orang tuanya di kampung, agar Otang tidak kecantol pada gadis di sana, lalu tidak mau pulang lagi. Pada mulanya Otang keberatan. Namun segera saja dia setuju demi ketemu calon istri yang secantik bintang film Titien Sumarni. Bedanya hanya tanpa tahi lalat di bibir atas. Ketika kembali ke kampung karena ikut PRRI, dia sudah punya dua anak. Dan selama di kampung dia tidak bekerja apapun. Memang tidak ada yang bisa dikerjakannya. Karena semenjak sekolah di kampung sampai ke Amerika pun dia tidak belajar untuk bekerja. Dia belajar untuk jadi orang tahu tentang berbagai ilmu. Dalam masa perang ilmu tidak berguna. Yang diperlukan, kalau tidak senjata, ya akal. Minimal akal-akalan.
Tibalah masanya kampung Otang diduduki APRI. Oleh APRI disebut dibebaskan. Maka tiba pulalah masanya Otang harus bekerja memegang pacul. Yaitu bergotong-royong massal dan ronda malam di kecamatan. Di kala gotong-royong semua lakki-laki berbaur. Apa orang tua, apa petani, apa guru, apa haji, apa datuk, apalagi orang semacam Otang. Bagi Otang sekali mengayunkan pacul, melepuhlah telapak tangannya. Telapak tangan melepuh, tidak dapat dijadikan alasan istirahat dari bergotong-royong.
Yang jadi komandan APRI di kecamatan itu berjabatan Bintara Urusan Teritorial, kronimnya Buter. Talib namanya. Sersan Mayor pangkatnya. Orangnya berbobot besar. Bedegab, kata penduduk. Suaranya bariton. Jika berteriak, kecutlah semua orang. Berpacu bunyi pacul pada batu untuk mengeluarkan rumput. Lama-lama Buter Talib jarang mengawasi gotong-royong. Namun perintah gotong-royong datang hampir saban hari. Melalui seruan Inyik Lunak dari ujung ke ujung kampung, sambil memalu canang yang berbunyi cer cer cer. Karena pada paro bahagian canang itu sudah pecah. Dan suara Inyik Lunak itu pun serak seperti selaput suaranya juga pecah.
Gotong-royong hampir setiap hari itu sangat menjengkelkan Otang. Juga semua orang. Bukan karena kehilangan waktu untuk bekerja, juga merasa sengaja dihina sebagai orang taklukan. Sehingga setiap mendengar bunyi cer cer cer dari canang yang dipukul dan diiringi suara pecah Inyik Lunak, lama-lama berakibat pada ketidak-sukaan Otang pada Inyik Lunak. Setiap berpapasan dengan Inyik Lunak di jalan, dia selalu melengos ke arah lain. Kalau lagi nongkrong di lepau Mak Mango di sudut pasar, lalu Inyik Lunak datang, dia buru-buru pergi. Sebaliknya jika Inyik Lunak sudah lebih dulu nongkrong, dia batal masuk lepau itu.
Bahkan Otang kian mual pada Inyik Lunak setelah tahu, apa yang dilakukan Buter Talib ketika semua laki-laki bergotong-royong. Bersama salah seorang kopralnya dia masuk kampung keluar kampung menzinai istri-istri orang-orang PRRI yang terus bertahan di pedalaman. Kopral Jono juga berbuat yang sama. Camat Basri yang orang kampung itu sendiri pun sama dengan yang lain dan yang lainnya lagi. Pembantu Ispektur Polisi Hartono meniduri kedua anak gadis Sudira, Sipir Penjara. "Mau apa kita? Bilang apa kita?" itulah kata-kata yang keluar dari mulut penduduk negeri yang ditaklukan itu.
Akhirnya, meski tidak ikut perang, cuma karena rasa simpati saja, dia harus membayar mahal seperti orang taklukan yang lain. Sengsara jugalah jadinya Otang. Sengsara bukan karena bersimpati kepada PRRI, melainkan karena istrinya cantik. Atun yang semula jadi istri dibanggakan, kini menjadi ranjau darat yang membelah-belah jantungnya. Pada waktu penduduk diperintah gotong-rotong, Buter Talib mampir ke rumah Atun. Malah Buter Talib konon pernah menginap ketika giliran Otang ronda malam.
Awal-awalnya Otang tidak tahu apa yang terjadi. Mertuanya tidak memberi tahu. Apalagi Atun. Wajah keruh kedua perempuan itu setiap Otang pulang dari bergotong-royong tidaklah difahami Otang. Pada mulanya memang begitu. Tapi ketika Inyik Lunah si tukang canang membisikkan agar Atun diantar ke kota, dia mulai membauni kasus yang sebenarnya. Otang mencak-mencak. Atun dicaci-maki karena tidak melawan perkosaan itu. Dia pun mengomeli ibu mertuanya yang bersekongkol.
"Otang, cobalah kau tempatkan dirimu sebagai si Atun, atau sebagai aku sendiri ketika bencana itu tiba. Apa mungkin kami melawan? Apa mestinya kami mengadu padamu, supaya Si Talib yang berkuasa itu kau hajar?" kata ibu mertuanya setelah gelegak darah Otang mulai mereda.
Otang tidak terhibur. Setumpuk sesal menghimpit dirinya. Menyesal dia tidak ikut memanggul senjata melawan APRI. Kalau dia jadi tentera PRRI, pasti dia akan menembak APRI semacam Buter Talib itu. Dua hal yang tidak mampu dia sesali. Pertama dia pulang kampung karena alasan solider pada Pak Natsir. Kedua karena Atun begitu cantiknya. Tapi membawa isteri dan anaknya pulang kampung karena yakin PRRI akan menang perangnya, adalah salah perhitungan yang paling disesalinya.
Dia marah pada Buter Talib. Marah sekali. Juga benci dan jijik. Tapi nyalinya hilang demi melihat semua orang berbaju hijau, seperti Buter Talib lebih-lebih. Dia sadar, bahwa dia bukan laki-laki yang jantan. Karena dia tidak pernah belajar jadi jantan, sejak dari sekolah sampai ke Florida sana. Dia hanya mendengar dan menerima apa kata guru dan kata buku.
Maka ketika Bupati Kasdut, teman sekolahnya dulu yang kapten pangkat militernya, datang inspeksi ke kecamatan, Otang menemuinya. Diceritakannya perilaku tentera pada penduduk......."Kalau cara APRI datang membebaskan daerah ini menjunjung rasa kemanusiaan berbangsa, tiga bulan saja PRRI sudah habis. Tapi karena tentera bersikap ganas, merampok, memperkosa istri-istri orang, perang akan lama. Karena PRRI tidak akan menyerah kepada musuhnya yang ganas, walaupun bertahun-tahun di hutan rimba."
"Itu dunia tentera, Otang. Risiko buruk bagi yang kalah perang. Tentera orang awak pun sama ganasnya ketika melakukan operasi militer ke daerah lain." kata Bupati Kasdut yang kapten itu.
"Dengan bangsa sendiri mesti berlaku ganas?"
"Itu kebijaksanaan komando agar rakyat di daerah mana pun tidak lagi berkhayal untuk berontak."
"Menegakkan kebijaksanaan dengan cara yang ganas itu apa APRI dapat menjadi pahlawan yang dicintai rakyat?"
"Sampai saat ini kebijaksanaan komando tidak akan berobah." kata Kapten Kasdut yang Bupati itu.
Otang lalu ingat slogan masa itu: "Jika takut pada bedil, lari ke pangkalnya." Tak ada gunanya melawan orang yang sedang menang perang. Dan ketika Bupati Kasdut kembali ke kota kabupaten, Otang minta ikut. Dan semenjak itu seisi kampung tidak ada yang tahu kemana dan dimana Otang.
***
Dua puluh lima tahun kemudian, Si Dali ketemu Otang di Jakarta. Di rumah Kasdut yang sudah pensiun dengan pangkat kolonel. Sudah jauh beda gaya Otang. Tenang. Terlihat alim. Gaya bicaranya lembut. Lunak, menurut Nawar. Dia memelihara jenggot. Model Haji Agus Salim. Putih warnanya. Di kepalanya bertengger kopiah beluderu hitam yang apik letaknya. Si Dali tidak lupa padanya. Dia pun tidak. Tapi dia tidak bergabung dengan Si Dali di ruang tengah. Dia di ruang belakang dengan ibu mertua Kasdut yang berusia hampir delapan puluh tahun.
"Dia sudah jadi penghulu sekarang. Datuk Rajo Di Koto nama gelarnya. Dipilih dan ditabalkan oleh kaumnya yang merantau di sini. Kata orang, gelar itu disebut gadang menyimpang. Tidak lazim menurut adat. Urusan kaum itulah itu." kata Kasdut yang ketika sebelum pensiun telah ditabalkan pula jadi Datuk oleh kaumnya di kampung. Datuk Raja Kuasa gelarnya. Gelar yang pantas bagi seorang kolonel yang pernah jadi Bupati. "Kalau aku, aku dapat gelar yang sah menurut adat. Disepakati oleh seluruh kaum di kampung dan dirantau lebih dulu." lanjutnya kemudian.
Si Dali panasaran kenapa Otang lebih suka berbaur dengan nenek itu daripada dengan sahabat lama yang dua puluh lima tahun tidak ketemu. Dugaan Si Dali jadi miring. Mungkin dia tidak suka ketemu Si Dali, karena mau menghindar dari luka lama masa perang PRRI. Luka karena Buter Talib meniduri Atun. Kemudian menyerahkan Atun kepada Buter pengganti dan penggantinya lagi. Tapi itu cerita lama. Apa dia masih dendam setelah Buter Talib dan teman-temannya membayar dosa-dosanya setelah pemberontakan komunis dikalahkan? "Dia sudah dua kali ke Mekkah." kata Kasdut selagi Si Dali merenung. Katanya lagi seolah-olah tidak begitu penting: "Ibu mertuaku membawanya jadi muhrim. Duitnya tentu saja dari aku. Dari siapa lagi, bukan?"
Sejak berangkat dari kampung, keluar dari daerah peperangan, Otang ke Jakarta membawa segala luka dan perih di hati. Kota itu diharapkannya mampu melupakan masa lalu. Nyatanya kota itu lebih menaburkan racun masa lalunya. Terutama melihat orang-orang berbaju hijau seragam yang menggandeng perempuan, yang nampak oleh matanya tidak lain dari orang-orang seperti Buter Talib yang menggandeng Atun. Ada rasa mual mau muntah dalam perutnya. Akhirnya dia mengurung diri di rumah iparnya tempat dia menumpang.
Kalau pun dia keluar rumah, tidak lebih jauh dari pagar halaman.
Untuk membunuh sepi dia membaca buku-buku agama, karena buku-buku itu tidak bicara tentang konflik yang melukai. Isi buku itu pun tidak untuk direnungkan. Karena dia tidak suka membebankan pikirannya. Koran atau majalah dihindarinya. Kalau tidak membaca, Otang mengerjakan apa saja yang bisa dilakukannya di rumah itu. Membersih-bersih, membenahi kerusakan kecil.
Akhirnya dia keluar juga dari persembunyiannya karena harus ikut menghadiri pemakaman seorang kemenakannya. Sekali keluar dari isolasi, hampir berterusan dia jarang di rumah di siang hari. Hampir setiap hari dia berkunjung dari satu rumah ke rumah lain, yang semuanya adalah dunsanak atau orang kampung seasal. Dia diterima dengan tangan dan hati terbuka. Meski oleh kerabat Atun. Terutama oleh orang-orang tua yang telah kehilangan kesibukan, yang memerlukan sahabat dan kenalan tempat berkisah menghabiskan waktu. Otang dapat mengisi tuntutan kebutuhan orang-orang seperti itu. Lama-lama dia tahu betul apa yang diperlukan mereka. Perempuan-perempuan menyukai berita sekitar perjodohan dan kematian orang-orang seasal di kampung maupun dirantau. Laki-laki lebih menyukai berita situasi di kampung atau reputasi orang-orang sekampung mereka. Yang pegawai suka pada berita kenaikan pangkat orang-orang dikenal mereka.
Otang tidak mencari berita-berita itu. Berita itu dia pungut dari orang-orang yang ditandanginya. Lama-lama jadilah Otang sebagai sumber berita otentik. Dia pun tahu berita yang disukai oleh masing-masing mereka dan masing-masing golongan. Lama-lama Otang seperti sosok yang dirindukan. Sama dengan kerinduan orang pada loper koran.
Lama-lama Otang mendapat jodoh juga. Seorang janda dari salah satu keluarga yang secara rutin dia kunjungi. Bagaimanapun suatu rumahtangga memerlukan biaya. Meski menurut kata mertuanya ketika melamarnya, Otang tidak perlu memberi belanja pada istrinya. Namun Otang adalah seorang laki-laki yang ingin istrinya berarti. Terpandang tinggi melampau Atun yang secantik bintang film itu. Karena itu dia perlu sumber nafkah. Pekerjaan yang menghasilkan uang. Pekerjaan apa yang dapat dilakukannya dalam umur yang sudah separo baya itu? Bekerja di kantor? Kantor apa yang mau menerimanya. Berdagang? Dagang apa? Apa dia bisa? Modalnya mana? Otang bingung. Waktunya sehari-hari lebih banyak habis mencari kemungkinan mendapat pekerjaan yang sesuai dan pantas. Pagi dia sudah keluar rumah, menjelang malam baru dia pulang.
Semua orang-orang tua yang dikunjunginya secara rutin itu pun bingung. Mereka bingung karena Otang tidak lagi datang. Kemudian ada seorang dokter tua yang tidak lagi praktek karena usia. Biasanya dia memanggil Otang menurut gaya lama: Engku Otang. Dokter itu berkata: "Engku Otang, apa yang Engku lakukan, sebetulnya sama dengan yang aku lakukan sebagai dokter mengunjungi pasyen. Paham?"
Sebenarnya Otang tidak paham. Namun dia mengangguk juga. Lama kemudian baru dia paham setelah berdiskusi dengan istrinya. Mestinya dia dibayar pada setiap kunjungan ke rumah-rumah itu. Jangan hanya dikasi makan atau minum setiap berkunjung. Lalu ketika akan pergi diselipkan selembar uang ke sakunya diiringi ucapan: "Sekedar sewa oplet." Tapi bagaimana caranya minta bayaran kepada kenalan dan orang-orang sekampungnya itu? Rikuh rasanya. Menurutnya berkunjung ke rumah-rumah orang itu bukan suatu profesi yang bersifat komersial seperti dokter. Namun istrinya lagi yang memberi gagasan. "Percuma saja Uda belajar di Amerika dulu."
Sejak itu kunjungan-kunjungan rutin ke rumah-rumah mereka itu dia kacaukan jadwalnya, baik hari maupun jamnya. Tentu saja dia disambut dengan rasa cemas dan sedikit omelan manja. Alasannya Otang sederhana saja. Yakni oleh karena ada kesibukan baru. Maklum dia sudah beristri dan bertanggung-jawab kepada rumah-tangganya. Kadang-kadang dia katakan betapa sulitnya dia dapat bus atau oplet. "Kenapa tidak pakai taksi saja, Engku." kata mereka pada umumnya. Nah, sejak itu Otang mendapat biaya taksi. Padahal dia tetap memakai kenderaan umum. Pada perempuan tua yang suka bicara agama, Otang tahu sekali kisah yang mereka sukai. Misalnya kisah Nabi Musa masa kecil yang dihanyutkan ibunya di Sungai Nil, lalu terdampar dekat istana Firaun. Atau kisah Zulaika yang tergila-gila pada Nabi Yusuf, Atau kisah kesetiaan Khadijah pada Nabi Muhammad dan sebaliknya. Kalau ada kasus yang aktual, Otang tak lupa mengkajinya dengan menyitir Al-Quran atau Hadist Nabi. Tak obahnya seperti seorang dai yang handal. Adakalanya dibawanya buku agama untuk perempuan-perempuan itu, yang dibelinya di kaki lima simpang Kramat. "Buku ini bagus, Uni. Ada tulisan Arabnya. Ada Latinnya. Berulang-ulang membacanya, kian dekat kita kepada redha-Nya." kata Otang. Taklah lupa pula dia membacakan sebagian isinya. Tentu saja ketika akan pulang, perempuan-perempuan itu mengganti dengan berlipat ganda harganya, di samping memberi biaya taksi.
Oleh karena perantau seasal kampungnya banyak di Jakarta, rata-rata yang dapat dikunjunginya tiga empat rumah dalam sehari. Tujuh hari dalam seminggu. Masing-masing dikunjunginya sekali sebulan untuk orang-orang kaya atau pejabat. Sekali dua bulan untuk golongan lain. Pada hari seperti menjelang Idul Fitri atau setiap pedagang atau pengusaha selesai tutup buku tahunan, Otang kecipratan rezeki yang bernama zakat banyak. Oleh orang-orang kaya seperti itulah Otang sampai bisa dua kali ke Mekkah. Sekali dia pergi bersama istrinya. Semua orang memberinya uang. Ada dollar. Ada real. Bahkan yen. Tentu saja ada rupiah. Dan semua dengan iringan basa-basi: "Sekedar pembeli korma." Lumayan banyak. Hampir sebanyak ONH Plus.
***
Otang jatuh sakit. Kena stroke dan komplikasi lainnya, kata dokter. Di rumah sakit dia dirawat di bangsal. Setelah semalam dia dipindahkan ke ruang VIP. Karena ada banyak kenalannya yang menjamin biayanya. Waktu Si Dali melayat, banyak karangan bunga pada berjajar di gang arah kamar Otang dirawat. Di kamarnya yang luas pun puluhan keranjang hias buah-buahan. Pada setiapnya ada kartu nama. Karena ingin tahu, Si Dali membacai kartu nama itu. Kartu nama pada karangan bunga di gang itu pun dia baca. Ada nama profesor yang top, pengusaha klas kakap, pejabat tinggi, staf ahli menteri dan juga nama Kasdut.
Otang membuka matanya ketika Si Dali memanggil namanya dekat ke telinganya. Lama dia menatap Si Dali dengan pandangan yang sayu. Seperti banyak yang akan dikatakannya. Trenyuh juga hati Si Dali. Namun dia tidak menampakkan betapa perasaannya. Dia coba tetap tersenyum untuk meyakinkan Otang bahwa sakitnya tidak gawat. Lama juga Si Dali meremas lembut lengan Otang yang tidak dipasangi alat infus. Sampai Otang memicingkan mata seperti mau tidur.
Suara pelan pelayat yang duduk di sice terdengar nyata ke telinga Si Dali. Mungkin juga ke telinga Otang. "Engku Datuk ini manusia langka. Takkan ada penggantinya kalau beliau tak kunjung sembuh." kata yang seorang.
"Beliau seperti perangkat komunikaai hidup." ulas yang lainnya lagi.
"Tak obahnya seperti Inyik Lunak di kampung kita. Pembawa berita suka dan duka keliling kampung sambil memukul canang yang khas bunyinya karena telah pecah sebagian."
"Tapi Inyik Lunak dengan canangnya cuma menyampaikan berita buruk saja." kata yang lainnya lagi.
Tiba-tiba Si Dali merasakan getaran kuat pada lengan Otang yang dipegangnya. Demikian juga kaki Otang seperti hendak menerjang-nerjang. "Panggil dokter." kata Si Dali seperti berteriak. Dan semua orang serta merta berdiri di sekiling ranjang Otang. Memandang dengan rasa cemas. Bingung karena tidak tahu mau melakukan apa. Tak lama kemudian dokter tiba. Semua pelayat disuruh keluar. Mereka menanti di ruang tunggu khusus pelayat dengan perasaan masing-masing.
Si Dali duduk pada kursi fiber. Pikirannya tertumpah pada kondisi Otang yang tiba-tiba gawat. Pikirannya menjalan kemana-mana dalam mencari sebab-sebab Otang yang secara tiba-tiba gawat itu. Apa Otang merasa tersinggung karena mendengar kata-kata salah seorang pelayat, yang menyamakannya dengan Inyik Lunak di tukang canang dengan canangnya yang pecah?
Si Dali yakin menyebut nama Inyik Lunak dekat Otang, apalagi menyamakan dirinya, membangkitkan luka masa lalunya. Masa lalu ketika perang berkancah di kampung halamannya. Ketika negara memandangnya sebagai pengkhianat bangsa. Ketika istri dan mertuanya sama mengkhianatinya. Ketika ukuran dan nilai kekhianatan tidak lagi jelas.
Kayutanam, 5 Desember 1997.