Jemari Terindah
Dikemas 22/10/2002 oleh Editor
Jemari Terindah
Aku memperhatikan jemariku. Ruas-ruas runcing, kuku-kuku yang ramping memanjang, memerah jambu, nampak lembut sekaligus liat. Lentik sekaligus tangguh. Pemetik dawai harpa, sekaligus pengupas ranum bebuahan surga. Bulu-bulu halus melingkar selembut anak rambut. Serupa cabang ranting dari telapak dan tangan kukuh pohonku. Aku memperhatikan jemariku.
Kulit kecoklatan pada tangan hingga lengan serupa pohon muda menatap surya. Penuh percaya diri. Bulu-bulu yang melekat adalah dedaunan selembut sutra. Menempatkan diri tanpa cela. Runut dan bersemayam penuh rasa damai. Bagian yang tertumbuhi bulu serupa aksiran yang menghitamkan tak terlalu pekat. Hutan pada punggung telapak tangan, berpohon nisbi.
Kuku yang mengkilap seperti bercat warna. Tapi tak terlalu mencolok mata. Cuma tetap saja berupa sebersit kilat cahaya yang mampu membuat mata menatapnya. Warna merah jambu serupa kelopak mawar. Namun jemari runcing tempat bersemayamnya adalah keindahan dan kekukuhan seperti penari lelaki yang ramping namun berisi. Tak puasnya aku memperhatikan jemariku. Bagian terindah dari tubuhku.
Awalnya tak pernah kusadari keindahan jemariku, bila saja semua perempuan yang mengenalku tidak mengagumi jemariku. Mereka akan lekat menatapnya, dan terkadang tak mampu mencegah jemarinya untuk menyentuh jemariku. Membelainya sepenuh perasaan. Seakan kelembutan seluruh punggung telapak dan mencabang pada jemari mampu meredam getar saat melihatnya.
Aku tak tahu apa orientasi mereka. Rasa kagum yang berlebih atau orientasi seksual yang terpuaskan. Terkadang seorang perempuan yang menyentuh punggung telapak dan merambat hingga jemari, memejamkan matanya. Erangan yang keluar dari bibirnya semacam upacara persetubuhan tanpa persenggamaan seutuhnya.
Kekaguman dan lirik keinginan menjamah adalah hal yang biasa aku terima. Rasa jatuh mencinta perempuan-perempuan itu membuat aku semakin menjaga jemariku. Awalnya dengan perasaan malu, aku bertanya pada seorang teman perempuanku, bagaimana merawat telapak, jemari, dan kuku. Tak kusangka teman perempuanku menyambutnya dengan penuh rasa haru. Ia bersedia menjadi perawat jemariku.
Hingga mulailah setiap sore, di halaman belakang rumah yang luas ia merawat jemariku. Aku tak tahu apa yang ia kumpulkan dalam belanga. Beberapa bunga, dedaunan, rempah-rempah. Ia akan mengatupkan matanya sebelum memulai ritual itu. Memijit seluruh telapak, jemari, dengan sentuhan tangan desanya yang terlatih. Ia betul-betul pengabdi.
“Nikahi aku pangeran, jemarimu adalah jemari terindah yang pernah aku temui. Aku akan mengabdi untukmu demi jemari yang hanya pantas memetik sitar dewa-dewa. Jemari yang sanggup membuat perempuan bertekuklutut dengan sekali sentuhan. Nikahi aku pangeran, demi jemari yang sedemikian indah.”
&&&
Aku tak menikahi perempuan dengan jari-jarinya yang melebar, walau ia menghamba padaku. Namun rupanya kecintaannya pada jemariku sanggup merubahnya menjadi pengabdi. Asal ia diperbolehkan menyentuh dan merawat jemariku setiap petang datang. Maka aku perbolehkan ia dengan perasaan begitu jumawa. Telah kutaklukan banyak perempuan, namun cuma ia yang mau mengabdi sedemikian.
Sampai suatu hari ia melukai jemariku. Betapa beraninya! Dengan tergagap ia memohon ampun. Ia berkata mana mungkin ia melukai jemari seindah itu. Jemari yang cuma pantas dimiliki pangeran. Jemari yang berteman tirai sutra, bantal-bantal berisi bulu domba, memegang cawan-cawan emas. Namun jemariku yang terluka membuat hatiku terluka. Bagian terindah dari tubuh, sesuatu yang tanpa cela! Aku mengusirnya.
Berita tentang jemariku yang terluka terdengar ke pelosok negeri. Perempuan-perempuan berdatangan dan bersedia menjadi pengganti perempuan tolol itu. Aku mengamati seluruh rupa. Mengamati wajah-wajah yang menghiba. Seakan dari balik tubuh-tubuh yang luruh mereka berteriak: pilihlah aku menjadi pengabdimu. Pilihlah aku pangeran.
Sebenarnya aku tak kuasa menolak mereka. Namun semakin lama aku menentukan pilihan, wajah mereka semakin menghiba. Mulailah terdengar rintih, seruan kecil dari bibir mungil mereka.
“Jangan kau permainkan jemarimu, membuat hasratku menusuk dada. Pilihlah aku atau singkirkan. Aku tak menahan. Sungguh.”
Rintih mereka nyanyian keangkuhanku. Dengan sikap telengas, aku kibaskan jemari meminta mereka pergi. Mereka tergugu dan lirih menangis. Nyanyian pedih namun sorak-sorai jumawaku. Betapa setiap perempuan siap menghamba untuk jemari-jemari yang diturunkan dari surga!
&&&
Aku merasa seluruh perempuan negeri ini mencintai jemariku, hingga aku memutuskan untuk pergi ke daerah Selatan yang menurut kabar perempuan-perempuannya jauh lebih cantik. Aku akan taklukan mereka dengan jemari-jemariku yang kini telah piawai menarik dawai. Padahal aku hanya belajar dalam hitungan tiga kali purnama! Namun guruku memuji bukan saja kecerdasan otakku, namun juga jemariku yang menurutnya berkah dari surga.
Maka aku datangi sebuah kedai minum di kota pertama tempat aku memijak kaki. Kedai tersebut bernuansa kecoklatan, mejanya berupa kayu-kayu yang diserut kasar hingga masih terlihat tekstur kayunya. Pada pinggir meja dilapisi dengan tembaga coklat kemerahan. Pilar-pilarnya serupa batu-batu gunung yang dipecah lebih kecil. Dan setiap pecahannya memperlihatkan tekstur dan guratan yang memukau.
Orang-orang yang berdatangan jauh lebih eksotis, terutama kaum perempuannya. Seorang perempuan yang benar-benar cantik datang memasuki kedai. Ia jauh lebih cantik dari kembang negeriku sekalipun. Tulang pipinya yang tinggi, dan raut wajah yang sempurna. Matanya kehijauan seperti bebatuan emerald. Rambutnya coklat tua berkibar mengabarkan kedatangannya. Bajunya berwarna hijau pucat dengan motif bunga besar pada bawahannya. Melekat pada pinggulnya yang tak berpenutup. Ia sangat pemerhati atas dirinya sendiri. Warna baju yang dipilihnya membuat matanya semakin cemerlang. Dan ia membuang muka saat bertatapan denganku.
Musik berhenti, aku melangkah ke arah areal yang berbentuk oval. Aku berjalan ditengah hiruk-pikuk mereka. Hingga sampai aku mengeluarkan dawaiku dan mulai memetiknya. Perlahan suasana menjadi sunyi. Mereka terpukau. Dalam cahaya lelampu yang pijar mereka sesungguhnya tak dapat melihatku dengan sempurna. Namun aku jauh dapat dilihat oleh mereka, karena aku dikelilingi lelampu yang membentuk lingkaran. Aku pusat perhatian. Atas petikan dawaiku, atas jemari yang memetiknya.
Aku menjadi pusat perhatian dalam hitungan detik. Menakjubkan. Perempuan-perempuan mengerubungiku sehabis petikan dawaiku berakhir. Mereka bagai perempuan-perempuan dari kastil raja. Mendekat dan mendesah seolah tak pernah disentuh seorang pria. Si mata emerald berambut coklat tua adalah satu diantaranya. Dengan bengis aku mengusirnya. Betapa beraninya ia mengabaikan lelaki dengan jemari berkah dari surga!
Sejak saat itu aku selalu hadir di acara pesta-pesta. Mereka mengundang karena petikan dawaiku, dan para perempuan atas jemariku. Tak hentinya mereka bertanya, bagaimana rasanya memiliki jemari seindah itu. Tak hentinya mereka merayu agar aku bersedia bercumbu. Aku merasa seperti raja kecil yang merasakan setiap tubuh dengan keikhlasan menghamba.
Setiap bibir menawarkan getar yang berbeda, setiap tubuh memiliki sensasi tersendiri. Erangan yang tak pernah sama. Rintih menghiba, yang lirih namun senantiasa menusuk gendang telinga. Dan jemariku adalah fantasi mereka yang tak jua usai sehabis percintaan semalaman. Betapa mereka mendamba belaian, seperti dawai yang kubelai penuh perasaan. Lembut namun sesekali membetot penuh tenaga. Mereka menghamba padaku. Dan diam-diam aku mendamba cinta.
&&&
Aku bertemu dengan Ametis di sebuah kedai. Rambutnya yang sungguh hitam bergerai hingga sepinggang. Bajunya yang tipis berwarna merah marun. Sangat kontras dengan kulitnya yang pucat. Bahannya yang tipis memperlihatkan tubuhnya yang samar. Gairah yang membayang setiap ia melangkah. Rambutnya dibiarkan menutupi dadanya. Sekilas nampak putingnya seperti kuncup mawar di balik tipis gaunnya.
Namun lebih dari segalanya adalah matanya. Matanya pecahan warna tak kentara. Mengerjap begitu kemilau. Setiap orang akan salah menangkap warna matanya. Namun seluruhnya memuji akan keindahannya. Mungkin serupa berlian yang ia tanam di sana. Berpendar-pendar, berkilau membuat takjub setiap mata. Jemariku selalu gagal memetik dawai saat pertama kali melihatnya. Ia secantik Antigone dalam khayalku.
Ia putri seorang tuan tanah. Bukan dari kalangan kelas atas yang suka akan pesta pora. Wajar bila ia luput dari penglihatanku. Namun aku berani bersumpah seluruh putra pembesar negeri ini jatuh hati padanya. Tiba-tiba aku merasa miskin dengan segala keberadaanku. Ia sesamar ambrosia dalam bening kristal. Sedang aku cuma tempayan dari tembaga tak membekas dalam ingatnya.
Tak seperti perempuan lain, ia mengabaikanku. Tak seperti perempuan lain pula, aku tak mendendam padanya. Hanya perasaan tahu diri bahwa kecantikannya terlalu berlebih buatku. Begitupun saat selesai aku memetik dawai, ia tak mendekat ke arahku. Hanya pandangan matanya yang ia tujukan ke arahku dengan pandangan bertanya –siapa engkau lelaki?-. Keangkuhan yang mematahkan keangkuhan. Kepantasan yang seharusnya aku dapatkan atas rasa sombongku.
Anehnya, esok aku melihat wajahnya lagi di kedai itu. Rasa percaya diriku bertambah seiring dengan senyumnya yang merebak tak terlalu kentara. Ia tak menujukan senyuman itu untukku sepenuhnya. Tepatnya ia menebar senyumnya seperti menabur bunga. Aku merasa mendapat setangkai. Cuma setangkai. Namun itu adalah bagian dirinya, sebetapapun absurdnya caraku menangkap pola pikirnya.
Aku mendekatinya sehabis pementasan. Jemariku yang berkeringat, keindahan tak terperi. Perwujudan kelembutan dan kerja keras. Perlahan jemariku menyusuri pinggir meja yang berlapis tembaga. Kulitku semakin terang dibanding tembaga yang basah oleh tumpahan minuman keras. Jemariku mengetuk-ngetuk seperti irama pasukan berkuda. Mencoba sentak hatinya yang angkuh akan hadirku.
Tidak seperti perempuan lain, Ametis memandang wajahku bukan jemariku. Baru kusadar bibirnya berbentuk nyaris sempurna. Rekah mawar, begitu segar. Giginya yang cemerlang mengintip diantara rekah bibirnya yang setengah terbuka. Ia menantang tatapku. Keangkuhan yang terbaca lewat bentuk hidungnya yang jumawa. Angkuh, cantik, sekaligus menggoda.
Aku bukan lelaki kemarin sore, hasratku justru melesat. Hingga bukan cuma jemari untuk merayu pesonanya. Seperti kata-kata yang keluar dari bibirku. Kalimat-kalimat puitis yang tercipta tanpa kendali. Mencoba menusuk relung hatinya yang dibentengi keangkuhan yang tak kunjung sirna. Pada matanya aku membaca ketaklukan, namun tubuhnya tetap kaku pada tempatnya. Hanya butuh waktu untuk membuatmu menghiba, perempuanku. Hanya butuh waktu.
&&&
Ternyata sangat tak mudah menaklukkan Ametis. Ia bukan seperti perempuan lain yang hanya mencintai jemariku. Ia ingin mencintaiku sepenuhnya. Bukan cuma jemariku yang tersohor. Aku semakin mencintai atas perkataannya yang tulus. Hingga terjadilah perang antar negeri. Kekacauan di mana-mana. Aku harus memegang senjata, berlatih perang. Telah kutinggalkan segala pesta dan petikan dawai.
Kekacauan melebihi jangkau pikirku. Betapa kesengsaraan akan perang terjadi pada setiap sudut kota. Rumah yang hancur, jalanan yang porak poranda, kanak-kanak yang yatim, penyakit, kelaparan. Orang-orang yang bergelimangan tak bernyawa adalah hal biasa. Rata-rata mereka telanjang karena pakaian mereka habis dicuri mereka yang masih hidup.
Aku menyaksikan kepahitan hidup. Sangat kontras dengan saat aku baru tiba di negeri ini. Sekejab segala kecantikan, kemewahan, tawa riang telah berganti hingar bingar peperangan. Terkadang kesunyian yang mencekam. Kadang aku pikir aku telah mati. Bersembunyi dalam lorong seperti segerombolan tikus. Tikus-tikus tak lagi nyaman dalam gorong-gorong karena kami memburunya. Kami para pemburu tikus! Untuk kemudian menyantapnya sebagai hidangan utama.
Telah lama tak kulihat kecantikan. Para perempuan dan anak-anak sudah sejak lama mengungsi. Sesekali kami mendengar berita tentang kekasih atau istri kami. Ada perasaan lega dari mereka mengetahui kaum lelakinya masih bertahan hidup. Aku bertanya pada mereka yang bertugas ke baris belakang, tentang Ametis. Seseorang memberikan selendang merah titipan Ametis. Menurutnya, Ametis meminta aku menjaga jemariku.
Aku tersenyum mendengar kelakarnya. Bagaimana mungkin aku dapat menjaga jemari dan kuku-kukuku? Mana pernah aku berpikir untuk merawatnya, sedang nyawaku bukan lagi milikku? Aku pasrah bila seorang musuh menyerangku saat aku lena dan menggorok leherku. Apa arti segala kecantikan jemari, kini? Telah lama aku lupakan atas pujian para perempuan. Telah kutanggalkan segala keangkuhan sejak aku mengenal Ametis semakin mendalam. Sebagaimana ia mencintaiku, utuh penuh.
Dua bulan sejak Ametis mengirim selendang itu, perang usai. Para perempuan kembali berdatangan. Dan kami para lelaki menyambutnya di perbatasan. Penuh rindu aku mencari Ametis. Dari jauh aku melihat matanya yang cemerlang. Rindunya pecah di matanya hingga berbinar-binar begitu bercahaya. Ia memelukku. Lantas memegang jemariku.
Kedua jemariku terbungkus selendang merahnya yang telah kupotong jadi dua bagian. Ia menatap jemariku dengan pendar mata seorang pengantin yang akan membuka pakaian pasangannya, saat malam pertama tiba. Dengan lembut dibukanya selendang merah itu. Perlahan, seakan jemariku adalah barang yang mudah pecah. Hingga telah habis bagian terujung selendang. Ia tertegun.
Wajahnya memerah, awal kupikir karena rasa iba. Namun matanya mengekspresikan rasa kecewa yang sangat mendalam. Jemariku telah berubah menghitam. Penuh luka. Karena goresan senjata, gigitan binatang, atau penyakit kulit yang merayapi punggung tanganku. Tak ada bekas sedikitpun, bahwa jemariku adalah jemari yang mampu membuat perempuan menghiba.
Ia menangis dan berlari menjauh.
&&&
Perlu tiga hari untuk mengajaknya bertemu. Wajahnya sembab. Tapi kecantikannya tetap mempesona. Aku tetap membalut jemariku, aku tahu inilah penyebab tangisnya. Walau itu tak sepenuhnya membuka apa yang sebenarnya membuat ia berlari. Rasa jijikkah, iba, belas yang berlebih, atau apa. Dari bibirnya ia berkata yang sejujurnya.
“Aku ingin mencintaimu apa adanya. Aku tak ingin seperti perempuan lain yang hanya mencintai jemarimu belaka. Pernahkah kau berpikir, apakah para perempuan itu akan tetap memujamu bila jemarimu terpangkas? Maka aku tak ingin larut seperti perempuan lain. Namun harus kuakui, jemarimu mampu membuat dadaku berdebar keras. Pun saat kita pertama kali berjumpa. Betapa ingin aku menciuminya dan melekatkannya pada dada. Tapi aku tidak seperti perempuan lain. Aku ingin mencintaimu sepenuhnya. Hingga kadang aku membayangkan betapa buruk jemarimu.”
Betapa cantiknya Ametis, suaranya yang bergetar adalah suasana hatinya yang tak karuan. Betapapun ia mencoba menetralkannya dengan tubuhnya yang tegak kaku. Lantas ia kembali berkata,
“Tetapi aku tak bisa. Aku mencintai jemarimu seperti perempuan lain. Semakin aku menghindar aku semakin sadar aku sangat mencintai jemarimu. Betapa aku mendamba atas belaiannya. Aku tak bisa membohongimu lagi. Aku tak pernah bisa mencintaimu sepenuhnya. Karena ternyata aku hanya mencintai jemarimu.”
Ada nada maaf dalam kata-katanya namun itu sangat menusukku. Ametis tak pernah benar-benar mencintaiku. Ia mencintai jemariku. Jemari yang kini telah berubah begitu menjijikan. Aku pergi dari negeri itu, malam harinya.
&&&
Empat bulan lamanya aku menyembuhkan segala luka jemari. Kini jemariku telah sembuh seperti sedia kala. Perempuan-perempuan kembali mengerubungiku menawarkan cinta. Tapi aku beku. Mereka tak pernah benar-benar mencintaiku. Mereka hanya mencintai jemariku. Bagian terindah dari tubuhku yang kini membuatku merasa muak. Betapa ingin aku lepas darinya.
Masih kuingat kata-kata Ametis di akhir perjumpaan,
“Pernahkah kau berpikir, apakah para perempuan itu akan tetap memujamu bila jemarimu terpangkas?”
Kata-kata itu terngiang dalam telingaku. Berdengung-dengung selama belasan hari. Begitu mengusik. Tak pernah kubayangkan akan teror semacam ini. Betapa kini aku merasa jemariku adalah momok yang tak merelakan aku tidur barang sekejab.
Setiap aku melihat jemariku, perutku serasa mual hingga aku harus membalutnya dengan kain. Keindahannya menusukku, apa guna jemari ini sebenarnya? Bagaimana bila aku tak memiliki jemari? Bagaimana bila aku hanya memiliki dua jemari, ibu jari dan telunjuk pada tangan kanan? Belum pernah selama ini pertanyaan seperti itu muncul dalam benakku. Kini pertanyaan itu muncul begitu saja. Ya dua jari mungkin cukup. Untuk segala kegiatanku.
Sebuah parang yang panjang telah kuasah semalaman. Aku mengamati tajamnya yang mampu memutus helai rambut. Berkilau dan aku dapat mengaca pada bilahnya. Ketajaman yang sempurna. Akan menebas sekali tebasan. Ya akan kuakhiri puncak derita bahagia*. Parang pada tangan kiriku menebas tiga jari tangan kananku. Tas. Dengan bermandi darah aku ambil parang dengan ibu jari dan telunjuk kanan yang tersisa. Telah kuabaikan rasa. Kutebas habis kelima jari tangan kiriku. Tas. Aku merasa ada yang tercerabut. Mungkin nyawaku. Hingga aku melayang.
&&&
Aku telah terbiasa hidup dengan dua jari. Mungkin dahulu aku melihatnya sebagai suatu benda yang dapat kubanggakan. Seperti pakaian sutra atau wewangian rempah-rempah, sesuatu yang membuat aku dihargai orang secara wadag. Tubuh yang kujual, tanpa aku tahu keindahan lain dibalik itu. Bagian terindah yang tersisa, kini menjadi begitu penting. Aku menjadi sedikit lebih mengerti akan arti jemari. Keberadaannya yang lekat pada telapakku. Semua diciptakan tentu mempunyai arti, mempunyai fungsi. Begitu aku menatapnya kini dengan penuh hikmat, bukan lagi angkuh. Kadang aku menangis memandang jemariku. Baru kusadar keindahan yang jauh melebihi apa yang terlihat.
Kini tak ada lagi perhatian dari perempuan sekitarku. Aneh itu justru membuat aku lega. Orang-orang memanggilku dengan panggilan baru, si buntung jari. Panggilan yang tak terlalu bagus sebenarnya, namun aku menerimanya. Aku mulai belajar menulis kisah-kisah kehidupan, terkadang kisah perjalanan dari para pendatang yang mulai memadati negeriku. Aku berencana untuk mengunjungi negeri-negeri dan menuliskannya. Kisah-kisah tentang kepedihan, ketangguhan, kegembiraan, acara ritual, keindahan alam, gejala alam. Aku cukup bahagia dengan kehidupanku kini. Menulis cerita dengan dua jari yang tersisa.
Muria Ujung, Oktober 2002
*Puncak derita bahagia..menyitir dari puisi Nanang Suryadi: Demikianlah Ia Berbahagia.