Rabu, 06 April 2016

Jemari Terindah

Jemari Terindah
Dikemas 22/10/2002 oleh Editor  
Jemari Terindah 

Aku memperhatikan jemariku. Ruas-ruas runcing, kuku-kuku yang ramping memanjang, memerah jambu, nampak lembut sekaligus liat. Lentik sekaligus tangguh. Pemetik dawai harpa, sekaligus pengupas ranum bebuahan surga. Bulu-bulu halus melingkar selembut anak rambut. Serupa cabang ranting dari telapak dan tangan kukuh pohonku. Aku memperhatikan jemariku. 



Kulit kecoklatan pada tangan hingga lengan serupa pohon muda menatap surya. Penuh percaya diri. Bulu-bulu yang melekat adalah dedaunan selembut sutra. Menempatkan diri tanpa cela. Runut dan bersemayam penuh rasa damai. Bagian yang tertumbuhi bulu serupa aksiran yang menghitamkan tak terlalu pekat. Hutan pada punggung telapak tangan, berpohon nisbi. 

Kuku yang mengkilap seperti bercat warna. Tapi tak terlalu mencolok mata. Cuma tetap saja berupa sebersit kilat cahaya yang mampu membuat mata menatapnya. Warna merah jambu serupa kelopak mawar. Namun jemari runcing tempat bersemayamnya adalah keindahan dan kekukuhan seperti penari lelaki yang ramping namun berisi. Tak puasnya aku memperhatikan jemariku. Bagian terindah dari tubuhku. 

Awalnya tak pernah kusadari keindahan jemariku, bila saja semua perempuan yang mengenalku tidak mengagumi jemariku. Mereka akan lekat menatapnya, dan terkadang tak mampu mencegah jemarinya untuk menyentuh jemariku. Membelainya sepenuh perasaan. Seakan kelembutan seluruh punggung telapak dan mencabang pada jemari mampu meredam getar saat melihatnya. 

Aku tak tahu apa orientasi mereka. Rasa kagum yang berlebih atau orientasi seksual yang terpuaskan. Terkadang seorang perempuan yang menyentuh punggung telapak dan merambat hingga jemari, memejamkan matanya. Erangan yang keluar dari bibirnya semacam upacara persetubuhan tanpa persenggamaan seutuhnya. 

Kekaguman dan lirik keinginan menjamah adalah hal yang biasa aku terima. Rasa jatuh mencinta perempuan-perempuan itu membuat aku semakin menjaga jemariku. Awalnya dengan perasaan malu, aku bertanya pada seorang teman perempuanku, bagaimana merawat telapak, jemari, dan kuku. Tak kusangka teman perempuanku menyambutnya dengan penuh rasa haru. Ia bersedia menjadi perawat jemariku. 

Hingga mulailah setiap sore, di halaman belakang rumah yang luas ia merawat jemariku. Aku tak tahu apa yang ia kumpulkan dalam belanga. Beberapa bunga, dedaunan, rempah-rempah. Ia akan mengatupkan matanya sebelum memulai ritual itu. Memijit seluruh telapak, jemari, dengan sentuhan tangan desanya yang terlatih. Ia betul-betul pengabdi. 

“Nikahi aku pangeran, jemarimu adalah jemari terindah yang pernah aku temui. Aku akan mengabdi untukmu demi jemari yang hanya pantas memetik sitar dewa-dewa. Jemari yang sanggup membuat perempuan bertekuklutut dengan sekali sentuhan. Nikahi aku pangeran, demi jemari yang sedemikian indah.” 

&&& 

Aku tak menikahi perempuan dengan jari-jarinya yang melebar, walau ia menghamba padaku. Namun rupanya kecintaannya pada jemariku sanggup merubahnya menjadi pengabdi. Asal ia diperbolehkan menyentuh dan merawat jemariku setiap petang datang. Maka aku perbolehkan ia dengan perasaan begitu jumawa. Telah kutaklukan banyak perempuan, namun cuma ia yang mau mengabdi sedemikian. 

Sampai suatu hari ia melukai jemariku. Betapa beraninya! Dengan tergagap ia memohon ampun. Ia berkata mana mungkin ia melukai jemari seindah itu. Jemari yang cuma pantas dimiliki pangeran. Jemari yang berteman tirai sutra, bantal-bantal berisi bulu domba, memegang cawan-cawan emas. Namun jemariku yang terluka membuat hatiku terluka. Bagian terindah dari tubuh, sesuatu yang tanpa cela! Aku mengusirnya. 

Berita tentang jemariku yang terluka terdengar ke pelosok negeri. Perempuan-perempuan berdatangan dan bersedia menjadi pengganti perempuan tolol itu. Aku mengamati seluruh rupa. Mengamati wajah-wajah yang menghiba. Seakan dari balik tubuh-tubuh yang luruh mereka berteriak: pilihlah aku menjadi pengabdimu. Pilihlah aku pangeran. 

Sebenarnya aku tak kuasa menolak mereka. Namun semakin lama aku menentukan pilihan, wajah mereka semakin menghiba. Mulailah terdengar rintih, seruan kecil dari bibir mungil mereka. 
“Jangan kau permainkan jemarimu, membuat hasratku menusuk dada. Pilihlah aku atau singkirkan. Aku tak menahan. Sungguh.” 
Rintih mereka nyanyian keangkuhanku. Dengan sikap telengas, aku kibaskan jemari meminta mereka pergi. Mereka tergugu dan lirih menangis. Nyanyian pedih namun sorak-sorai jumawaku. Betapa setiap perempuan siap menghamba untuk jemari-jemari yang diturunkan dari surga! 

&&& 

Aku merasa seluruh perempuan negeri ini mencintai jemariku, hingga aku memutuskan untuk pergi ke daerah Selatan yang menurut kabar perempuan-perempuannya jauh lebih cantik. Aku akan taklukan mereka dengan jemari-jemariku yang kini telah piawai menarik dawai. Padahal aku hanya belajar dalam hitungan tiga kali purnama! Namun guruku memuji bukan saja kecerdasan otakku, namun juga jemariku yang menurutnya berkah dari surga. 

Maka aku datangi sebuah kedai minum di kota pertama tempat aku memijak kaki. Kedai tersebut bernuansa kecoklatan, mejanya berupa kayu-kayu yang diserut kasar hingga masih terlihat tekstur kayunya. Pada pinggir meja dilapisi dengan tembaga coklat kemerahan. Pilar-pilarnya serupa batu-batu gunung yang dipecah lebih kecil. Dan setiap pecahannya memperlihatkan tekstur dan guratan yang memukau. 

Orang-orang yang berdatangan jauh lebih eksotis, terutama kaum perempuannya. Seorang perempuan yang benar-benar cantik datang memasuki kedai. Ia jauh lebih cantik dari kembang negeriku sekalipun. Tulang pipinya yang tinggi, dan raut wajah yang sempurna. Matanya kehijauan seperti bebatuan emerald. Rambutnya coklat tua berkibar mengabarkan kedatangannya. Bajunya berwarna hijau pucat dengan motif bunga besar pada bawahannya. Melekat pada pinggulnya yang tak berpenutup. Ia sangat pemerhati atas dirinya sendiri. Warna baju yang dipilihnya membuat matanya semakin cemerlang. Dan ia membuang muka saat bertatapan denganku. 

Musik berhenti, aku melangkah ke arah areal yang berbentuk oval. Aku berjalan ditengah hiruk-pikuk mereka. Hingga sampai aku mengeluarkan dawaiku dan mulai memetiknya. Perlahan suasana menjadi sunyi. Mereka terpukau. Dalam cahaya lelampu yang pijar mereka sesungguhnya tak dapat melihatku dengan sempurna. Namun aku jauh dapat dilihat oleh mereka, karena aku dikelilingi lelampu yang membentuk lingkaran. Aku pusat perhatian. Atas petikan dawaiku, atas jemari yang memetiknya. 

Aku menjadi pusat perhatian dalam hitungan detik. Menakjubkan. Perempuan-perempuan mengerubungiku sehabis petikan dawaiku berakhir. Mereka bagai perempuan-perempuan dari kastil raja. Mendekat dan mendesah seolah tak pernah disentuh seorang pria. Si mata emerald berambut coklat tua adalah satu diantaranya. Dengan bengis aku mengusirnya. Betapa beraninya ia mengabaikan lelaki dengan jemari berkah dari surga! 

Sejak saat itu aku selalu hadir di acara pesta-pesta. Mereka mengundang karena petikan dawaiku, dan para perempuan atas jemariku. Tak hentinya mereka bertanya, bagaimana rasanya memiliki jemari seindah itu. Tak hentinya mereka merayu agar aku bersedia bercumbu. Aku merasa seperti raja kecil yang merasakan setiap tubuh dengan keikhlasan menghamba. 

Setiap bibir menawarkan getar yang berbeda, setiap tubuh memiliki sensasi tersendiri. Erangan yang tak pernah sama. Rintih menghiba, yang lirih namun senantiasa menusuk gendang telinga. Dan jemariku adalah fantasi mereka yang tak jua usai sehabis percintaan semalaman. Betapa mereka mendamba belaian, seperti dawai yang kubelai penuh perasaan. Lembut namun sesekali membetot penuh tenaga. Mereka menghamba padaku. Dan diam-diam aku mendamba cinta. 

&&& 

Aku bertemu dengan Ametis di sebuah kedai. Rambutnya yang sungguh hitam bergerai hingga sepinggang. Bajunya yang tipis berwarna merah marun. Sangat kontras dengan kulitnya yang pucat. Bahannya yang tipis memperlihatkan tubuhnya yang samar. Gairah yang membayang setiap ia melangkah. Rambutnya dibiarkan menutupi dadanya. Sekilas nampak putingnya seperti kuncup mawar di balik tipis gaunnya. 

Namun lebih dari segalanya adalah matanya. Matanya pecahan warna tak kentara. Mengerjap begitu kemilau. Setiap orang akan salah menangkap warna matanya. Namun seluruhnya memuji akan keindahannya. Mungkin serupa berlian yang ia tanam di sana. Berpendar-pendar, berkilau membuat takjub setiap mata. Jemariku selalu gagal memetik dawai saat pertama kali melihatnya. Ia secantik Antigone dalam khayalku. 

Ia putri seorang tuan tanah. Bukan dari kalangan kelas atas yang suka akan pesta pora. Wajar bila ia luput dari penglihatanku. Namun aku berani bersumpah seluruh putra pembesar negeri ini jatuh hati padanya. Tiba-tiba aku merasa miskin dengan segala keberadaanku. Ia sesamar ambrosia dalam bening kristal. Sedang aku cuma tempayan dari tembaga tak membekas dalam ingatnya. 

Tak seperti perempuan lain, ia mengabaikanku. Tak seperti perempuan lain pula, aku tak mendendam padanya. Hanya perasaan tahu diri bahwa kecantikannya terlalu berlebih buatku. Begitupun saat selesai aku memetik dawai, ia tak mendekat ke arahku. Hanya pandangan matanya yang ia tujukan ke arahku dengan pandangan bertanya –siapa engkau lelaki?-. Keangkuhan yang mematahkan keangkuhan. Kepantasan yang seharusnya aku dapatkan atas rasa sombongku. 

Anehnya, esok aku melihat wajahnya lagi di kedai itu. Rasa percaya diriku bertambah seiring dengan senyumnya yang merebak tak terlalu kentara. Ia tak menujukan senyuman itu untukku sepenuhnya. Tepatnya ia menebar senyumnya seperti menabur bunga. Aku merasa mendapat setangkai. Cuma setangkai. Namun itu adalah bagian dirinya, sebetapapun absurdnya caraku menangkap pola pikirnya. 

Aku mendekatinya sehabis pementasan. Jemariku yang berkeringat, keindahan tak terperi. Perwujudan kelembutan dan kerja keras. Perlahan jemariku menyusuri pinggir meja yang berlapis tembaga. Kulitku semakin terang dibanding tembaga yang basah oleh tumpahan minuman keras. Jemariku mengetuk-ngetuk seperti irama pasukan berkuda. Mencoba sentak hatinya yang angkuh akan hadirku. 

Tidak seperti perempuan lain, Ametis memandang wajahku bukan jemariku. Baru kusadar bibirnya berbentuk nyaris sempurna. Rekah mawar, begitu segar. Giginya yang cemerlang mengintip diantara rekah bibirnya yang setengah terbuka. Ia menantang tatapku. Keangkuhan yang terbaca lewat bentuk hidungnya yang jumawa. Angkuh, cantik, sekaligus menggoda. 

Aku bukan lelaki kemarin sore, hasratku justru melesat. Hingga bukan cuma jemari untuk merayu pesonanya. Seperti kata-kata yang keluar dari bibirku. Kalimat-kalimat puitis yang tercipta tanpa kendali. Mencoba menusuk relung hatinya yang dibentengi keangkuhan yang tak kunjung sirna. Pada matanya aku membaca ketaklukan, namun tubuhnya tetap kaku pada tempatnya. Hanya butuh waktu untuk membuatmu menghiba, perempuanku. Hanya butuh waktu. 

&&& 

Ternyata sangat tak mudah menaklukkan Ametis. Ia bukan seperti perempuan lain yang hanya mencintai jemariku. Ia ingin mencintaiku sepenuhnya. Bukan cuma jemariku yang tersohor. Aku semakin mencintai atas perkataannya yang tulus. Hingga terjadilah perang antar negeri. Kekacauan di mana-mana. Aku harus memegang senjata, berlatih perang. Telah kutinggalkan segala pesta dan petikan dawai. 

Kekacauan melebihi jangkau pikirku. Betapa kesengsaraan akan perang terjadi pada setiap sudut kota. Rumah yang hancur, jalanan yang porak poranda, kanak-kanak yang yatim, penyakit, kelaparan. Orang-orang yang bergelimangan tak bernyawa adalah hal biasa. Rata-rata mereka telanjang karena pakaian mereka habis dicuri mereka yang masih hidup. 

Aku menyaksikan kepahitan hidup. Sangat kontras dengan saat aku baru tiba di negeri ini. Sekejab segala kecantikan, kemewahan, tawa riang telah berganti hingar bingar peperangan. Terkadang kesunyian yang mencekam. Kadang aku pikir aku telah mati. Bersembunyi dalam lorong seperti segerombolan tikus. Tikus-tikus tak lagi nyaman dalam gorong-gorong karena kami memburunya. Kami para pemburu tikus! Untuk kemudian menyantapnya sebagai hidangan utama. 

Telah lama tak kulihat kecantikan. Para perempuan dan anak-anak sudah sejak lama mengungsi. Sesekali kami mendengar berita tentang kekasih atau istri kami. Ada perasaan lega dari mereka mengetahui kaum lelakinya masih bertahan hidup. Aku bertanya pada mereka yang bertugas ke baris belakang, tentang Ametis. Seseorang memberikan selendang merah titipan Ametis. Menurutnya, Ametis meminta aku menjaga jemariku. 

Aku tersenyum mendengar kelakarnya. Bagaimana mungkin aku dapat menjaga jemari dan kuku-kukuku? Mana pernah aku berpikir untuk merawatnya, sedang nyawaku bukan lagi milikku? Aku pasrah bila seorang musuh menyerangku saat aku lena dan menggorok leherku. Apa arti segala kecantikan jemari, kini? Telah lama aku lupakan atas pujian para perempuan. Telah kutanggalkan segala keangkuhan sejak aku mengenal Ametis semakin mendalam. Sebagaimana ia mencintaiku, utuh penuh. 

Dua bulan sejak Ametis mengirim selendang itu, perang usai. Para perempuan kembali berdatangan. Dan kami para lelaki menyambutnya di perbatasan. Penuh rindu aku mencari Ametis. Dari jauh aku melihat matanya yang cemerlang. Rindunya pecah di matanya hingga berbinar-binar begitu bercahaya. Ia memelukku. Lantas memegang jemariku. 

Kedua jemariku terbungkus selendang merahnya yang telah kupotong jadi dua bagian. Ia menatap jemariku dengan pendar mata seorang pengantin yang akan membuka pakaian pasangannya, saat malam pertama tiba. Dengan lembut dibukanya selendang merah itu. Perlahan, seakan jemariku adalah barang yang mudah pecah. Hingga telah habis bagian terujung selendang. Ia tertegun. 

Wajahnya memerah, awal kupikir karena rasa iba. Namun matanya mengekspresikan rasa kecewa yang sangat mendalam. Jemariku telah berubah menghitam. Penuh luka. Karena goresan senjata, gigitan binatang, atau penyakit kulit yang merayapi punggung tanganku. Tak ada bekas sedikitpun, bahwa jemariku adalah jemari yang mampu membuat perempuan menghiba. 
Ia menangis dan berlari menjauh. 

&&& 

Perlu tiga hari untuk mengajaknya bertemu. Wajahnya sembab. Tapi kecantikannya tetap mempesona. Aku tetap membalut jemariku, aku tahu inilah penyebab tangisnya. Walau itu tak sepenuhnya membuka apa yang sebenarnya membuat ia berlari. Rasa jijikkah, iba, belas yang berlebih, atau apa. Dari bibirnya ia berkata yang sejujurnya. 

“Aku ingin mencintaimu apa adanya. Aku tak ingin seperti perempuan lain yang hanya mencintai jemarimu belaka. Pernahkah kau berpikir, apakah para perempuan itu akan tetap memujamu bila jemarimu terpangkas? Maka aku tak ingin larut seperti perempuan lain. Namun harus kuakui, jemarimu mampu membuat dadaku berdebar keras. Pun saat kita pertama kali berjumpa. Betapa ingin aku menciuminya dan melekatkannya pada dada. Tapi aku tidak seperti perempuan lain. Aku ingin mencintaimu sepenuhnya. Hingga kadang aku membayangkan betapa buruk jemarimu.” 

Betapa cantiknya Ametis, suaranya yang bergetar adalah suasana hatinya yang tak karuan. Betapapun ia mencoba menetralkannya dengan tubuhnya yang tegak kaku. Lantas ia kembali berkata, 
“Tetapi aku tak bisa. Aku mencintai jemarimu seperti perempuan lain. Semakin aku menghindar aku semakin sadar aku sangat mencintai jemarimu. Betapa aku mendamba atas belaiannya. Aku tak bisa membohongimu lagi. Aku tak pernah bisa mencintaimu sepenuhnya. Karena ternyata aku hanya mencintai jemarimu.” 

Ada nada maaf dalam kata-katanya namun itu sangat menusukku. Ametis tak pernah benar-benar mencintaiku. Ia mencintai jemariku. Jemari yang kini telah berubah begitu menjijikan. Aku pergi dari negeri itu, malam harinya. 

&&& 

Empat bulan lamanya aku menyembuhkan segala luka jemari. Kini jemariku telah sembuh seperti sedia kala. Perempuan-perempuan kembali mengerubungiku menawarkan cinta. Tapi aku beku. Mereka tak pernah benar-benar mencintaiku. Mereka hanya mencintai jemariku. Bagian terindah dari tubuhku yang kini membuatku merasa muak. Betapa ingin aku lepas darinya. 

Masih kuingat kata-kata Ametis di akhir perjumpaan, 
“Pernahkah kau berpikir, apakah para perempuan itu akan tetap memujamu bila jemarimu terpangkas?” 
Kata-kata itu terngiang dalam telingaku. Berdengung-dengung selama belasan hari. Begitu mengusik. Tak pernah kubayangkan akan teror semacam ini. Betapa kini aku merasa jemariku adalah momok yang tak merelakan aku tidur barang sekejab. 

Setiap aku melihat jemariku, perutku serasa mual hingga aku harus membalutnya dengan kain. Keindahannya menusukku, apa guna jemari ini sebenarnya? Bagaimana bila aku tak memiliki jemari? Bagaimana bila aku hanya memiliki dua jemari, ibu jari dan telunjuk pada tangan kanan? Belum pernah selama ini pertanyaan seperti itu muncul dalam benakku. Kini pertanyaan itu muncul begitu saja. Ya dua jari mungkin cukup. Untuk segala kegiatanku. 


Sebuah parang yang panjang telah kuasah semalaman. Aku mengamati tajamnya yang mampu memutus helai rambut. Berkilau dan aku dapat mengaca pada bilahnya. Ketajaman yang sempurna. Akan menebas sekali tebasan. Ya akan kuakhiri puncak derita bahagia*. Parang pada tangan kiriku menebas tiga jari tangan kananku. Tas. Dengan bermandi darah aku ambil parang dengan ibu jari dan telunjuk kanan yang tersisa. Telah kuabaikan rasa. Kutebas habis kelima jari tangan kiriku. Tas. Aku merasa ada yang tercerabut. Mungkin nyawaku. Hingga aku melayang. 

&&& 

Aku telah terbiasa hidup dengan dua jari. Mungkin dahulu aku melihatnya sebagai suatu benda yang dapat kubanggakan. Seperti pakaian sutra atau wewangian rempah-rempah, sesuatu yang membuat aku dihargai orang secara wadag. Tubuh yang kujual, tanpa aku tahu keindahan lain dibalik itu. Bagian terindah yang tersisa, kini menjadi begitu penting. Aku menjadi sedikit lebih mengerti akan arti jemari. Keberadaannya yang lekat pada telapakku. Semua diciptakan tentu mempunyai arti, mempunyai fungsi. Begitu aku menatapnya kini dengan penuh hikmat, bukan lagi angkuh. Kadang aku menangis memandang jemariku. Baru kusadar keindahan yang jauh melebihi apa yang terlihat. 


Kini tak ada lagi perhatian dari perempuan sekitarku. Aneh itu justru membuat aku lega. Orang-orang memanggilku dengan panggilan baru, si buntung jari. Panggilan yang tak terlalu bagus sebenarnya, namun aku menerimanya. Aku mulai belajar menulis kisah-kisah kehidupan, terkadang kisah perjalanan dari para pendatang yang mulai memadati negeriku. Aku berencana untuk mengunjungi negeri-negeri dan menuliskannya. Kisah-kisah tentang kepedihan, ketangguhan, kegembiraan, acara ritual, keindahan alam, gejala alam. Aku cukup bahagia dengan kehidupanku kini. Menulis cerita dengan dua jari yang tersisa. 


Muria Ujung, Oktober 2002 
*Puncak derita bahagia..menyitir dari puisi Nanang Suryadi: Demikianlah Ia Berbahagia. 



Jangan Pernah Bilang Sibuk

Jangan Pernah Bilang Sibuk


Oleh Rr Yusnita Ratih J.
Penulis adalah mahasiswa ITS

Akhir-akhir ini musim virus merah jambu. Kemarin Meta ngerayain empat tahun jadian. Mereka seneng banget karena sudah berhasil melewati tahun keempat yang katanya rawan cekcok. 

Kalau Dika, dia jadian sama Meira yang jadi idolanya sejak dia masuk sekolah ini. Beda lagi dengan Yusi. Dia tidak henti-hentinya cerita betapa bangganya dia dikejar-kejar mas Yudha, seniorku yang sekarang sudah kuliah. Kalau aku, biasa-biasa saja. Masih jomblo sejak dua bulan yang lalu dan tidak ada yang perlu diceritakan.

Di antara cerita cinta yang bertaburan di mana-mana, ternyata hanya cerita Yusi yang melibatkan tenaga dan pikiranku. Tiga minggu setelah ams Yudha PDKT, akhirnya terjalin komitmen agak konyol antara siswi SMU kelas tiga dengan mahasiswa semester lima itu. 

Aku dan Meta sebagai pengamat saja. Bagaimana tidak, hampir tidak ada rahasia di antara kami bertiga. Maklum, memang satu komplotan. Tapi Dika agak dianaktirikan karena beda gender. 

Semua yang mas Yudha omongin di telepon selalu ditransfer ke kupingku dan Meta. Sementara ini, cuma lewat omongannya mas Yudha via telepon itu kamu mencoba menilai seberapa serius dia sama Yusi. 

Agak susah sih. Soalnya, omongannya itu pasti yang indah-indah. Tapi selama kenal dan PDKT, sampai akhirnya jadian yang terhitung hampir satu bulan ini, baru dua kali mereka ketemuan. Yusi yang makin hari makin takluk dan mas Yudha yang makin ngeyel bahwa kayaknya tidak ada wanita di dunia ini selain Yusi. 

Dan, semua berjalan baik-baik saja hingga hampir dua bulan, tepatnya satu bulan dua belas hari. Mulai hari ketigabelas semua berubah. Tidak ada lagi SMS indah dan telepon cantik dari mas Yudha. Yusi mulai kebat-kebit. 

Hari-hari yang dulu selalu diwarnai keceriaan sekarang berganti dengan keluhan. Yang kangen lah, BT (Butuh Tatih tayang) lah, hingga kekuatiran jangan-jangan mas Yudha punya cewek lain. 

Alasan yang dilontarkan mas Yudha seputar kuliahnya yang tadinya asing bagi kami. Mulai dari ngerjain tugas besar yang jumlahnya ada tiga biji, ngalkir gambar, dan seabrek kegiatan aneh yang selalu menyita waktu dan pikirannya hingga untuk missed call saja tidak sempat.

Sore ini Yusi sama Meta ke rumahku. Dan lagi-lagi Yusi menebarkan kesedihannya. Kali ini lebih parah dari biasanya. 

"Gimana nggak sedih, udah empat hari ini dia diemin aku. Tadinya aku sengaja nggak call dia. Aku pengin tahu gimana reaksinya. Ee, ternyata sampai sekarang dia tetep diam. Terakhir aku telepon dia alasannya masih sama, sibuk. Dia sekarang lagi ngapain ya? Coba kalau dia nggak jauh, pasti aku bisa tahu apa dia bener-bener sibuk. Aku takut kehilangan dia. Kan kita udah berjodoh banget. Namanya aja cuma beda Si sama Dha. Zodiakku Pisces dan dia Virgo. Cocok tuh. Tapi kok bisa kayak gini ya?" gerutunya. 

Aku mengambil handphone Yusi dan menghubungi mas Yudha. Ternyata benar, belum sampai aku bilang apa-apa, dia sudah ngomong duluan, "Aduh, sori ya, lagi sibuk nih. Besok aja ya aku telepon. Daa, sayang." Klik. Tuut..tutt…

Bukan hanya aku. Meta dan Yusi pun merasa ada sesuatu yang salah. Dan ternyata benar, dia hari kemudian mereka putus. Mungkin Yusi dianggapnya seonggok liliput dalam telepon yang cuma di-SMS, ditembak, dan diputusin lewat telepon. 

Alasan mas Yudha adalah dia merasa nggak mantep nerusin hubungan dengan Yusi. Dia takut Yusi kecewa mencintai dia. Wah, kayak lagunya Dygta. Tapi alasan itu terlalu klasik dan tidak logis.

Hari berikutnya menuntut kami untuk bisa memperlakukan Yusi lebih hati-hati. Gara-gara cintanya yang kandas dia menjadi kacau. Password yang nggak boleh didengar Yusi adalah kata "sibuk". 

Kalau ada Yusi, kata itu harus diganti dengan kata lain. Repot misalnya. Kalau tidak, dia bakalan nangis kenceng sambil teriak-teriak panggilin mas Yudha. Memprihatinkan!

Dua bulan berlalu. Kami sekuat tenaga mengembalikan Yusi menjadi normal. Kali ini ada Andi, anak kelas tiga, yang bantuin. Seminggu yang lalu mereka jadian. Dan semua sudah berubah.

"Yus, mau ke mana? Buru-buru banget?" sapaku. 

"Eh, sori, aku lagi sibuk nih. Ngurusin pelepasan kelas tiga. Tolong kamu bilang ke Reza ya, dia lagi sibuk di ruang OSIS. Thanks ya," katanya sambil berhenti sebentar dan kemudian bergegas lagi.

Tit tilut tit. Bunyi handphone Yusi. "Iya, iya, aku lagi sibuk nih. Katanya papa juga sibuk rapat, mama sibuk nyiapin arisan. Bla-bla-bla…"

Aku hanya tersenyum mendengar kata "sibuk" yang dulu sempat menjadi momok sekarang selalu meluncur dari bibir mungilnya. Cinta, kali ini kamu menang, kamu berhasil membuat seseorang berbeda. Dulu, sekarang, dan mungkin beberapa detik kemudian. Harusnya bukan kamu, ya, bukan kamu. 


Jangan Percaya Apa Kata Bintang

Jangan Percaya Apa Kata Bintang (Oleh: Wangsa Nestapa) 

"Serius Ivan. Aku tuh kemarin lihat di majalah punya Wina. Dan ramalan di dalamnya mengatakan, aku bakal mendapat durian jatuh di kepala. Dan tadi malam, aku kehilangan ponsel ketika tengah makan ketoprak di depan Plaza." Noli sampai melotot berbicara seperti itu kepadaku. Mungkin, biar ucapannya lebih meyakinkan.

"Ah, itu sih kamunya saja yang ceroboh. Ramalan itu enggak akan ada arti kalau bukan kita sendiri yang memulai dan telanjur mempercayainya." Kuseret pandanganku dari wajah Noli yang terlihat serius.

"Gimana mau enggak percaya. Coba, setiap kali aku baca horoskop, ramalannya selalu saja berbicara sesuai dengan apa yang aku alami. Paling enggak nyerempet. Dan pengalaman tadi malam malah bikin kepercayaanku tambah klop bahwa ramalan itu bukan sekedar omdo alias omong doang," ucap Noli mantap. Ia menaruh gitar bolong yang sedari tadi digenjreng-genjrengkan. Sisa es jeruk di gelas, diteguk habis olehnya.

Aku kira Noli sudah telanjur amat mempercayai ramalan yang menggambarkan kepribadian dia di bawah garis binatang-binatang sebagai simbolnya. Meski sebenarnya, aku pun tak bisa memungkiri, ucapan Noli pun sesuai dengan isi kepalaku. Tapi aku tak terlalu menanggapi semua isi yang tertera di zodiakku. Tidak seperti Noli yang begitu antusias mempercayai keseluruhannya. Kalau aku membaca, paling sebatas hiburan. Kalau tebakan zodiak tepat, paling banter aku tersenyum memberi aplaus atas kehebatan si peramal atas kepekaannya menebak-nebak jalan hidup manusia. Kalau untuk mempercayainya, nanti dulu. Toh itu kan hanya ramalan, belum tentu betulnya.

Dan semakin lama, Noli semakin parah dengan kepercayaannya terhadap ramalan bintang. Ia seolah menggantungkan nasibnya pada ramalan. Kalau saja aku ini bukan temannya dan ia tidak sering bercerita tentang pengalamannya yang kadang membuat gelisah dia sendiri itu, aku akan berani mengatakan secara langsung kepadanya bahwa ia gila!

Dan sore itu, selepas bimbel sekolah, Noli berlari menghampiri seraya melambai-lambaikan majalah di tangan. Pasti tentang ramalan bintang. "Van, liat nih. Zodiakku bilang, aku bakal ketiban sial. Dan pesannya, aku enggak boleh keluar rumah seminggu ini. Aku takut, Van!" ucap Noli.

Tepat sekali perkiraanku, mungkin kalau Noli tahu tebakanku jitu, ia pasti memintaku untuk menjadi peramal pribadinya. Ih, jangan sampai deh.

"Takut? Takut apaan? Takut zodiak kamu itu salah? Atau takut karena kamu seminggu ini enggak akan keluar karena mempercayai omongan bintang kamu di majalah itu lagi?!" balasku tetap berjalan dengan pandangan lurus melewati lorong sekolah.

"Takut kalau ramalan ini betul lagi, dong Van. Aku enggak mau ketiban duren untuk kedua kalinya! Tapi, masak aku mesti ngurung diri seharian penuh selama seminggu dalam rumah?" ucap Noli cemas. Aku enggak tahu harus berbuat apa untuk meladeni sikapnya saat itu. Kalau saja ramalannya buruk, ia kerap menemui dan mengatakannya kepadaku. Sedang kalau gembira, ia lebih sering menyimpannya dalam hati.

Dua minggu lalu saja, ketika impiannya bertemu dengan bintang idolanya di teve karena memenangkan tiket nonton konser secara langsung, ia tak menceritakan kalau prediksi ramalan bintangnya menjadi nyata. Dan satu minggu kemudian, barulah ia bercerita bahwa Pisces memberi keuntungan baginya. Sedang kali ini, mungkin ekor Pisces-nya buntung!

"Terus, kamu mau apa?"

"Dih, kok kamu nanyanya kayak gitu sih, Van?" cerocos Noli

"Abis, mau apa lagi?" jawabku sekenanya.

"Ya ngasih saran atau apa kek!"

"Saran? Untuk apa? Percuma aku ngasih saran ke kamu kalau kamunya enggak pernah ngedengerin apa yang aku omongin."

"Memangnya, kamu kira selama ini aku enggak ngedengerin omongan kamu?" "Ngedengerin sih! Tapi masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Kuping kamu itu kayak terowongan ini, cuma tempat masuk-keluar anak-anak. Setiap omonganku yang masuk, enggak pernah dicerna sebelumnya!"

"Contohnya?" tandas Noli. "Contohnya? Seperti sekarang ini, Non! Misalkan, aku ngasih saran ke kamu supaya kamu enggak usah percaya sama ramalan bintang itu. Tapi sepertinya, kamu emoh untuk mengikuti saranku dan tetap melaksanakan apa kata bintangmu itu. Betul kan?" ucapku mengira-ngira. Noli terlihat memiringkan kepala seolah meresapi dan mencoba memahami ucapanku. Jari manisnya bersandar di pipi dengan siku tertopang telapak tangan yang kiri. Tapi tak lama kemudian, ia segera menyudahi karena becak yang dipanggil keburu datang menghampiri. Ia naik begitu saja tanpa pamit atau sekedar say god bye kepadaku setelah sebelumnya ia mengatakan bahwa aku itu lelaki yang sok tahu. Keesokan harinya selepas pulang sekolah, aku tak menemui Noli yang biasa nongkrong di bawah pohon mangga untuk pulang bersama. Dan aku tak terlalu ambil pusing dengan ketiadaannya. Sekaligus, aku merasa senang karena bisa menghindar dari pembicaraannya yang tak jauh dari ramalan bintangnya.

Jujur saja, aku sebenarnya penat mendengarkan ocehannya yang bertalian dengan ramalan. Pusing, karena aku hampir setiap malam memikirkannya. Dahulu, Noli tak seperti itu. Tapi belakangan ini, setelah main ke rumah Wina yang langganan majalah yang ada zodiak di dalamnya, ketertarikan Noli terhadap horoskop semakin menggila. Malah ia rela datang ke lapak majalah sekedar melihat ramalan tanpa membeli majalahnya.

Dan aku merasa yakin ucapanku di lorong sekolah itu benar, saat keesokan harinya aku kembali tak menemukan Noli di tempat biasa. Keesokan dan keesokan harinya lagi. Apalagi setelah Wina mengatakan bahwa Noli terlihat aneh belakangan ini. Setelah bel pelajaran selesai, tanpa basa-basi ia langsung pulang. Dan saat jam istirahat berlangsung, ia rela ngendon di dalam kelas. Tadi malam saja, Noli menolak ketika Wina dan beberapa teman mengajaknya untuk ngeceng ke mal. Biasanya, kalau untuk urusan pergi ke mal bareng temen, Noli paling bersemangat. Sepertinya, ia takut kalau ramalannya menjadi nyata, jika ia keluar rumah seperti yang tertera dalam zodiaknya.

Ternyata tidak! Perkiraanku tak tepat, karena sehari setelah aku meyakinkan tepatnya tebakanku, Noli terlihat ceria di tempat biasa. Duduk sendiri sembari menikmati kacang atom. Sama sekali tak tersirat perasaan cemas di wajahnya seperti saat ia mengatakan tentang ketakutannya terhadap ramalan bintang di lorong sekolah beberapa waktu lalu. "Haiii!" sapanya cengengesan, bikin aku penasaran. Ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi dengannya.

"Udah nongol, nih. Engak takut ketiban duren lagi, Non!?" tanyaku sembari mencomot beberapa butir kacang atom.

"Enggak tuh, musim berbuah pohon duren sudah habis. Jadi, enggak ada duren yang jatuh," ucap Noli santai. "Lihat, zodiakku bilang, aku hoki minggu ini. So, enggak ada alasan kalau aku bakal ketiban duren, dong!!!" lanjut Noli seraya melempar sebutir kacang atom ke udara, kemudian melesat ke dalam mulutnya. Ia mengeluarkan majalah dari dalam tas dan membuka lembar zodiak lalu menyodorinya kepadaku. Aku sekilas melihat tulisan tersebut dan tersenyum kepadanya.

"Jadi, kamu percaya kan bahwa zodiak itu enggak selalu benar?" "Ah, enggak juga tuh!"

"Kan durennya enggak jatuh ke kepala kamu!"

"Lantas, bukan berarti aku enggak percaya lagi dong! Soalnya, minggu ini zodiakku bilang, aku bakal menimba emas dari sumur. Itu tandanya, aku bakal dapet rejeki. Sayang dong kalau aku ngelewatin begitu saja."

"Ah, kamu itu, Non! Aku kira kamu udah insaf. Ternyata belum."

"Huuu…." Noli langsung mencibir dan menggamit tas untuk pulang bersama. Seminggu sudah waktu bergulir menggelindingkan hari. Noli belum merasakan kalau ramalan bintangnya menjadi nyata. Tapi ia tak kecewa, mungkin belum saatnya. Apalagi setelah ia melihat kembali zodiak keluaran terbaru, isinya tak jauh beda seperti minggu lalu. Ia semakin optimistis, bintang jatuh bakal datang kepadanya. Tapi sama saja, berhari-hari ia menunggu, hasilnya nihil, alias tak ada.

Lama-lama, Noli jadi frustrasi sendiri, karena yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang menghampiri. Dan ini semua ada hikmah untuknya. Mungkin Sang Pencipta tak suka melihat makhluk ciptaannya terlampau mengekspos diri dalam hal ramal-meramal. Takdir hidup manusia itu kan tak bisa ditentukan lewat ramalan, melainkan Dia sendiri yang telah menentukan.

Dan menurutku, mungkin kesadaran Noli dari dunia ramal-meramal adalah bintang jatuh yang selama ini ditunggu-tunggu olehnya. Dan perlahan, perasaan bangga mulai mencuat kepadanya, karena orang yang aku cintai dan sayangi selama ini telah kembali seperti semula. Alhamdulillah. Thanks, God!
egon, 2 Juni 2004) 



Jamin, Perbaiki Kuburanku !!!

Jamin, Perbaiki Kuburanku !!! - Gusrianto
Dikemas 19/04/2003 oleh Editor  

Jamin baru saja menghabiskan sepotong goreng pisang buatan istrinya ketika dilihatnya Dirman -warga yang rumahnya di ujung desa- tergopoh-gopoh memasuki halaman rumahnya. Orderan lagi nih, batin Jamin melihat kedatangan Dirman, lalu meminum seteguk kopi di cangkirnya dan kemudian menyongsong Dirman ke halaman
"Pak Jamin…" masih dengan nafas memburu Dirman langsung bicara.
"Ada apa, Dir?" tanya Jamin, padahal sebenarnya dia sudah dapat menebak apa maksud kedatangan Dirman.
"Dinihari tadi nenek kami meninggal…" nah, benarkan? Batin Jamin lagi.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un." Ucap Jamin, mimik wajahnya turut berduka. Tapi hatinya? Hatinya bersorak riang. Bagaimana tidak? Sudah lebih dua minggu, tapi tak seorangpun yang meninggal dunia. Kemarin istrinya sudah meminjam beras sama tetangga sebelah, dan dua hari yang lalu, Rini -anaknya yang sekarang sudah kelas 2 SMP- juga meminta uang sekolah yang memang belum dibayar.
"Rencananya nanti siang mau dikebumikan, Pak. Apakah bisa selesai sebelum siang?" Dirman bertanya.
"Bisa, Dir. Akan saya usahakan." Hanya itu jawaban Jamin, kemudian Dirman pamit setelah sebelumnya Jamin mengatakan akan menyusul sebentar lagi
Jamin masuk ke dalam rumahnya yang tidak begitu bagus -dindingnya masih dari papan- dan terus ke kamar untuk mengganti bajunya dengan pakaian dinasnya.
Penggali kubur. Ya…itulah profesi yang telah dilakoninya selama ini, tepatnya sejak ia menikah dengan Halimah, dua puluh tahun lalu. Seluruh warga desa mengenalnya dengan baik, bahkan ada juga warga desa sebelah yang memanggilnya untuk menggalikan kuburan bagi keluarga mereka yang meninggal. Dan tentu saja Jamin akan mendapatkan imbalan atas jerih payahnya itu. 
Selama 20 tahun sudah pekerjaan sebagai penggali kubur dijalaninya, dan ternyata itu mampu menghidupi keluarganya. Apalagi kalau musimnya orang meninggal, bisa-bisa mereka sekeluarga makan daging ayam tiap hari. Tapi kalau tidak ada orderan, alias tidak ada orang yang memintanya membuatkan kuburan, ya seperti sekarang ini, istrinya sampai-sampai harus meminjam beras sama tetangga. 
Tapi apakah Jamin selalu berharap atau mendoakan agar ada warga desa yang meninggal? Ah, dia sendiri tidak tahu, yang jelas dia akan senang kalau ada orang yang meninggal dunia
Sebenarnya Halimah sudah sering mengingatkannya agar mencari pekerjaan lain, setidaknya sebagai sampingan jikalau tidak ada orang yang meminta untuk menggali kuburan.
"Bang…sawah peninggalan bapak kan tidak ada yang mengurus. Apa salahnya jika kita yang menggarapnya." Begitu kata Halimah suatu hari.
"Tapi kan kita tidak kekurangan, Mah. Bukankah dengan pekerjaanku sebagai penggali kubur kita masih bisa bertahan hidup?" jawab Jamin.
"Iya, tapi itukan kalau lagi ada orderan. Tidak mungkin tiap hari akan ada orang yang meninggal, Bang." Kalau sudah begitu Jamin akan diam. Memang …tidak mungkin setiap hari ada yang memintanya untuk menggali kuburan. Ada orderan seminggu sekali saja itu sudah lumayan. Tapi begitulah Jamin, tak mau mendengar kata istrinya.

***

"Jamin!!" Jamin menoleh ke belakang, mencari asal suara yang memanggilnya. Pak Ramli rupanya.
"Ada apa, Pak?" tanya Jamin. Pak Ramli mendekatinya. Saat itulah Jamin baru tersadar, keringat dingin langsung bercucuran di tubuh dan wajahnya. Pak Ramli? Bukankah dia baru kemarin dikuburkan? Bukankah dia sendiri yang menggali kuburan buat Pak Ramli? Jamin berniat lari, tapi kakinya seperti dipakukan ke tanah. Dia hanya mampu berdoa.
"Perbaiki kuburanku, Jamin! Terlalu sempit." Pak Ramli berteriak, marah. "Tak bisakah kau membuat kuburan yang lebih bagus?" ujarnya lagi. Jamin pias. Sesaat dipejamkannya matanya, lalu kemudian dengan kekuatan penuh dia mencoba lagi untuk berlari. Berhasil, sekuat tenaga Jamin berlari.
"Jamin!!! Perbaiki kuburanku." Jamin terus berlari, menutup kedua telinganya. Pak Ramli mengejarnya. Jamin makin panik. Pak Ramli kini tak sendiri. Ada Mak Minah yang meninggal dua minggu lalu, ada Ucok yang masih berusia tujuh tahun -meninggal karena ditabrak motor sewaktu pulang sekolah-, ada Karta, Bedi, juga bayinya Surti yang belum sempat diberi nama, semuanya sudah meninggal, dan semuanya dia yang menggalikan kuburannya. Mengapa mereka mengejarnya?
"Jamin…perbaiki kuburan kami!!!" suara-suara itu terus mengejarnya. Jamin capek, tak kuat lagi. Usianya sudah kepala lima, tak sanggup lagi berlari lebih jauh. Begitu orang-orang (-atau mayat) itu mendekatinya, Jamin berteriak…..
"Tidaaaakk!!!!"
Seseorang memegang pundaknya. Mengguncangnya, Jamin merinding, apakah yang akan mereka perbuat? Membunuhnya?
"Bang…bangun!" itu suara Halimah. Jamin membuka matanya. Halimah duduk di sampingnya dengan segelas air putih ditangan. "Mimpi apa sih, Bang? Kok teriak-teriak begitu." Jamin meminum air di gelas itu sampai habis.
"Mereka mengejarku, Mah?"
"Mereka? Siapa?" Halimah bingung, heran, mimpi apa suaminya?
Saat itulah Jamin melihat Haji Suleman di pintu kamarnya. Haji Suleman, dia tetangga Jamin, rumah mereka bersebelahan. Tapi Haji Suleman telah meninggal sepuluh tahun lalu. Jamin sendiri yang menggalikan kuburan untuknya. Apakah Haji Suleman juga mengincarnya? Tapi kenapa?
"Itu Mah, itu dia…" Jamin menunjuk ke pintu, lalu membenamkan kepalanya di bantal. Halimah heran, tak tahu apa yang harus di perbuat.
"Siapa, Bang?" tanyanya.
"Itu di pintu, Mah. Cepat usir dia, cepat bacakan ayat-ayat suci."
"Bang…mana?" Halimah tak menemukan apapun di pintu.
"Mereka mau membunuhku, cepat usir, Mah." Jamin menggigil ketakutan. Perlahan dia membuka matanya dan kembali menatap ke pintu kamar. Haji Suleman masih di sana. Tapi… dia tersenyum. Sedikit perasaan Jamin jadi tenang.
"Jamin…" Haji Suleman memanggilnya lembut. "Kau tahu kenapa mereka mengejarmu?" Jamin menggeleng. Halimah di sampingnya keheranan. Bingung melihat tingkah Jamin.
"Jamin…mulai sekarang kau harus luruskan kembali niatmu. Memang, jadi penggali kuburan adalah perbuatan mulia, sangat mulia. Bukankah karena itu kau dulu memilih profesi ini?" kembali Jamin mengangguk, dan kembali Halimah keheranan. "Sekarang niatmu sudah menyimpang, sudah membelok dari yang dulu pernah kau janjikan. Niatmu menggali kuburan adalah untuk mendapatkan uang, sehingga kau tidak lagi bekerja dengan ikhlas karena tujuanmu bukan pahala dari Allah. Sehingga hasilnya pun tidak sebaik dan sesempurna dulu lagi." Jamin terdiam, semua yang dikatakan Haji Suleman memang benar. 
"Jamin, luruskan kembali niatmu. Bekerjalah karena Allah, jangan karena uang." Usai berkata begitu Haji Suleman menghilang. Jamin tergugu di tempat tidurnya. Dua tetes air mata jatuh merembes di pipinya. Ingatannya melayang pada dua puluh tahun silam.
"Benar kau ingin melanjutkan profesi bapak?" Jamin mengangguk di samping bapaknya yang terbaring lemah. Bapaknya tersenyum bangga.
"Bukankah itu pekerjaan mulia, Pak?" Bapaknya kembali mengangguk.
"Tapi ingat ya? Bekerjalah dengan niat karena Allah semata, jangan pernah mengharapkan imbalan dari pekerjaanmu, kecuali kalau mereka memang ikhlas memberi, yang penting jangan meminta, apalagi sampai memasang tarif." Kembali Jamin meng-iyakan perkataan bapaknya. 
Dan kuburan pertama yang digali Jamin adalah kuburan untuk bapaknya sendiri, karena keesokan harinya si bapak meninggal dunia.
"Bang…"Halimah mengguncang tubuh Jamin. Jamin menoleh, menatap istrinya, dan air matanya mengucur makin deras.

Kamar kost, 25 Oktober 2002



Jam 7 Pagi

Jam 7 Pagi - Joko Sutrisno
Dikemas 02/04/2003 oleh Editor  


Ia bangun jam 7 pagi. Agak murung pagi ini. Biasanya bangun jam 9 pagi, merokok, nonton TV, sarapan dengan temannya, onani, lalu membaca buku. Dilakukannya itu tiap hari. Ia tidak menikmati juga tidak bosan dengan hal itu. Jelasnya, yang membuat ia murung pagi ini adalah ia bangun jam 7 pagi, lebih awal dari biasanya.

Baginya, bangun lebih awal merupakan sesuatu yang asing, diluar kebiasaan. Apalagi bangun lebih awal 2 jam. Ia tidak tahu kenapa harus bangun jam 7 pagi, padahal seluruh tubuhnya, mulai dari mata, jari – jari, kaki, sistem syaraf, regulasi, ekskresi, dan semuanya. Pendeknya udara yang masuk ke dalam paru – paru akan menggerakkan tubuhnya tepat jam 9 pagi.

Pagi ini, hatinya hancur. Kesedihan menyerangnya. Ia gagal menjadi manusia biasa yang terbiasa dengan kebiasaannya. Ia, menyesal, bahkan terlalu menyesal. Dan penyesalan adalah kata lain dari harapan. Sesuatu yang harus dibuangnya jauh – jauh. Ia tidak putus asa tetapi hanya tak punya harapan. Ia merasa ketika bangun pagi jam 9 pagi, terus – menerus, setiap hari, tiba – tiba harus bangun jam 7 pagi. Ternyata benar yang ditakutinya selama ini. Rutinitas telah menciptakan harapan. Jika ia bangun jam 7 pagi, pertama kali yang disesalinya adalah ia ingin kembali bangun jam 7 pagi. Harapan telah tumbuh dan tumbuh semakin tinggi tiap detik, menit, mengikuti tingginya matahari jam 9 pagi. Memberontak terhadap rutinitas tetapi sebenarnya menciptakan rutinitas baru.

Hal ini, terus terang menurutku, sangat memuakkan. Betapapun bodohnya. Andaikan ia bangun jam 7 pagi, dianggap jam 7 adalah jam 9 pagi. Ataupun jika ia bangun jam berapapun dan tak peduli dengan hal – hal remeh seperti itu. Ia tidak akan tersiksa dengan pikiran – pikiran konyol. Itulah ia. Terlalu sering berpikir hal - hal yang remeh, simpel, dan mesum ( Aku mengutip kata ini dari koran ). Ia membuat pagi ini menyebalkan. Aku pikir saraf otaknya terganggu, tersumbat nikotin yang dihisapnya setiap bangun jam 9 pagi.

Tiba – tiba ia bangkit. Aku tersenyum kecut. Mungkin ia sudah menemukan jawabannya. Berjalan turun menuju warung disamping kost. “ Mas, coffemix satu!”. Ia duduk sambil terus diam. Tak peduli disampingnya teman teman asyik ngobrol. Entah apa yang diomongkan. Kata – kata memuakkan seperti absurditas, tirani seksual, essensi, revolusi sistemik, Khrisnamurti, pemekaran cabang bersemburan. Seakan – akan ingin keluar dari mulut bercampur dengan ludah. Ia tak mengerti , mengapa senang berbicara hal – hal aneh ( entah berapa sering aku menyebut hal – hal. Aku tak menemukan kata yang lain untuk mendefinisikan hal ini ). Bukankah asyik membicarakan paha perempuan mulus atau payudara gadis – gadis kampus yang semakin menonjol tiap hari. 

Andaikan bangun jam 9 pagi, pikirnya, aku akan merokok, nonton, sarapan pagi, pulang onani, lalu selesai mandi membaca buku. Ia sangat terpukul, aku iba melihatnya. Jika tahu akan seperti itu, tentu kubangunkan jam 9 pagi, atau setidaknya aku berdoa supaya ia bangun jam 9 pagi. Tetapi aku tetap tidak mengerti, mengapa ia begitu sedih karena bangun lebih awal 2 jam. Toh, orang lainpun bangun jam 5, sembahyang, mengerjakan hal – hal lain untuk menghabiskan hari. 

Aku sudah lama kenal dengan dia. Kami selalu berdua. Makan berdua, tidur berdua, ke kampus berdua, onani berdua. Ia lahir dari sebuah keluarga bahagia. Seorang ibu yang terlalu menyayanginya hingga membuatnya menjadi laki laki lemah. Cinta itu melemahkan. Hanya saja pagi ini aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuknya. Kunyalakan rokok. Ya, setiap kesedihan harus dirayakan dengan rokok.

Detik demi detik, menit demi menit, matahari semakin tinggi menuju jam 9 pagi. Tiba – tiba semua simpatiku berubah menjadi kemuakan. Ya, kemuakan. Aku muak dengan kecengengannya. Ia gagal sebagai seorang laki – laki sejati, sebagai manusia yang seharusnya jantan, tegar berhadapan dengan realitas. Kugeret tangannya, kutarik keras –keras. “ Cepat bayar. Kita pulang ke kost.”. Ia menurut saja. Ingin sekali kukeluarkan otaknya dan kulempar pada anjing kudisan. Biar ia tahu kalau bangun jam 7 pagi sama saja dengan bangun jam 9 pagi. Dan kamipun pulang. Seperti biasa kami berjalan, diam dan diam. “ Apa yang kau pikirkan, hah !”, bentakku. Ia diam saja. “ Aku ingin bunuh diri.”, jawabnya datar. Aku terhenyak. Seluruh saraf otakku mendidih. Tanganku bergetar. Ingin sekali kuludahi mukanya. Aku harus menguasai diriku. Sampah seperti dia akan menjadi – jadi jika orang bereaksi semua perkataannya. Ia pikir dirinya filsuf hebat yang hanya bisa bermain konsep dan akrobat verbal yang diaklektis ( aku juga suka mengutip kata – kata ini ). ” Oke, jika kamu ingin bunuh diri, silakan. Tetapi sebutkan alasannya.”, tantangku. Pandangannya kosong. “ Aku tidak punya alasan.”, jawabnya pendek. “ Pasti kamu punya alasan. “.”Apakah setiap yang aku lakukan harus mempunyai alasan.”, sanggahnya. “ YA!”, jawabku mantap. “Realitas memerlukan alasan. “ . Ia terdiam.

Matahari mulai tenggelam. Aku pulang menuju kost. Hari ini begitu melelahkan. 

Entah kenapa hari ini tulangku tak mamu menyangga tubuh.. Mungkin aku masih memikirkannya. Aku tinggalkan dia setelah pertengkaran pagi tadi. Aku gagal mendesak dia menyebutkan alasannya ingin bunuh diri. Ah, sampai juga aku dikost. Aku langsung terkapar di kasur. Kemana ia hari ini, pikirku. Biasanya, jika aku pulang, ia pun pulang. Tetapi kali ini tidak. Samar – samar kulihat kertas bertulis pulpen merah dipojok kamar. Kuraih kertas berhuruf kapital itu.

JIKA AKU BUNUH DIRI, AKU TIDAK PERLU ALASAN. TETAPI AKU HARUS BERKOMPROMI DENGAN REALITAS KARENA REALITAS MEMERLUKAN ALASAN. KATAKAN PADA REALITAS, ALASAN YANG DITUNTUTNYA ADALAH.

Matahari bergerak turun dari langit. Senja memerah. Senja hari ini mungkin adalah senja paling indah. 



Yogyakarta, 25 April 2002



Jalan Terakhir

Jalan Terakhir

Oleh Diyah Nastiti H.
Penulis adalah mahasiswa Univ. Surabaya

Sebenarnya aku bahagia tinggal di panti asuhan ini. Tapi entahlah…perasaan itu berubah ketika teman sekamarku dijadikan anak angkat oleh keluarga yang kaya raya. Perasaanku jadi iri.

"Kenapa Irna? Kenapa bukan aku?" Aku bertanya-tanya dalam hati.
Bagiku Irna bukanlah fokus perhatian di panti asuhan ini. Bahkan boleh dibilang, akulah orang yang selalu dijadikan fokus perhatian. Bukannya aku sombong, tapi menurut semua penghuni panti asuhan, aku adalah anak yang cerdas, periang, cekatan, suka menolong, dan wajahku juga nggak jelek-jelek amat. 

"Lantas, apa saja kriteria untuk menjadi anak angkat?" Aku membatin kelu. 
***
Sudah seminggu Irna menjadi anak angkat keluarga Gunawan. Dan, dia berencana mengunjungi panti asuhan ini, untuk menceritakan pengalamannya menjadi anak angkat. Semua menunggu berdebar-debar, termasuk aku. 

Tepat jam 3 sore sebuah mobil sedan biru metalik memasuki halaman panti asuhan. Begitu mobil berhenti, sesosok kepala menyembul dari balik pintu mobil yang terbuka. 

"Halo semua. Apa kabar? Aku kangen lho."
Irna berlari sambil merentangkan tangannya. Kami berpelukan. Irna berjalan menuju ruang tamu dan duduk di sana. Tempat kami biasa menghabiskan malam yang panjang sambil nonton TV. Sedetik kemudian aku mendengar suaranya yang renyah. 

"Teman-teman, aku bahagia sekali tinggal di keluarga Gunawan. Orang tuaku baik banget. Mereka sangat memanjakan dan menyayangiku seperti anaknya sendiri. Aku punya 3 kakak cowok yang sayang banget sama aku. Aku sering dibeliin baju yang bagus-bagus. Diajak ke tempat yang indah-indah…"

Irna terus mengoceh, betapa bahagia tinggal di keluarga barunya. Sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku melamun dan membayangkan betapa bahagiaya seandainya aku menjadi Irna.

"Kapan aku mempunyai keluarga?"
***
Selama 15 tahun menghuni panti asuhan ini, aku belum mengetahui mengapa aku berada di panti asuhan Kasih Bunda ini. Dari cerita yang kutahu dari pengurus panti, aku dilahirkan dari keluarga yang tidak mampu. Orang tuaku tidak mempunyai biaya yang cukup untuk merawatku, bahkan untuk mendapatkan sesuap nasi pun mereka kesulitan. 

Tapi siang ini, secara tidak sengaja aku mendengar namaku disebut-sebut bu Yusti dan bu Nani, pengurus panti, saat aku melintasi kantor utama panti asuhan. Aku mendekat untuk mendengar suara mereka dari balik pintu yang tidak tertutup rapat.

"Kasihan Mayang. Dia anak yang cerdas, cekatan, ramah, dan suka membantu. Sayang, orang tuanya tidak bisa melihat perkembangannya. Coba kalau orang tuanya ada di sini, pasti mereka bahagia melihat keadaan Mayang sekarang."

"Itu suara bu Yusti," batinku.
"Iya, Mayang juga pasti bahagia sekali mempunyai keluarga yang utuh. Saya juga prihatin dengan nasib Mayang. Sekarang dia benar-benar sudah tidak mempunyai orang tua. Sejak AIDS merenggut nyawa mereka, 7 tahun lalu."

Aku terhenyak. Bumi tempatku berpijak rasanya berputar. Aku cepat berpegangan pada pot bunga besar yang ada di depanku. Aku terduduk lemas. 
"AIDS? Tujuh tahun lalu? Jadi, sebelum tujuh tahun lalu aku masih punya orang tua?"
Pikiranku menjadi kacau. Tapi sedetik kemudian aku menemukan jawabannya. 

"Kasihan orang tua Mayang. Mereka harus membayar mahal akibat pekerjaan mereka. Hanya karena tidak punya keahlian dan keterampilan tertentu mereka bekerja sebagai pramuwisma dan mucikari. Hanya agar mereka bisa bertahan hidup. Penduduk sekitar tempat tinggal mereka memandang jijik dan menganggap kehadiran orang tua Mayang adalah aib, kotor, dosa, dan neraka buat lingkungan. Apalagi sejak kelahiran Mayang yang dianggap anak haram dan tidak pantas tinggal di lingkungan mereka. Padahal dalam agama apa pun tidak ada yang namanya anak haram. Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci meskipun orang tuanya berbuat salah. Ya, daripada Mayang merasakan beban orang tuanya, akhirnya dititipkan di sini," jelas bu Yusti panjang lebar.

Lalu mereka terdiam lama. Aku yang mulai tadi mendengar sudah tidak dapat menahan air mata. Aku merasa bumi menelanku hidup-hidup. Aku sudah tidak kuat berdiri, apalagi berjalan. 

Tapi, kalau aku terlalu lama berada di balik pintu ini, mereka akan mengetahui kehadiranku. Dengan sekuat tenaga aku berdiri dan memaksakan kakiku untuk berlari ke kamar. Air mataku semakin deras mengalir. Pikiranku melayang entah ke mana. Kuacuhkan tatapan heran teman-teman.

Brak! Kubanting pintu kamar dan kukunci. Aku mengempaskan badanku ke ranjang. 

"Ya Tuhan, ternyata aku anak seorang PSK dan germo. Aku anak haram. Tuhan, aku benci ayah dan ibuku. Aku benci mereka…" Aku membatin berulang-ulang. Kepalaku penuh sesak dengan kata-kata itu. 
***
Tiga hari sudah kulewati masa berat itu. Aku jadi pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun dan mengunci pintu di kamar. Teman-teman memandangku heran. Aku yang biasanya ceria berubah seperti ini. Tapi aku tetap diam. Tak kujelaskan mengapa aku menjadi seperti ini. Suatu saat mereka pasti tahu. Harapanku untuk mempunyai sebuah keluarga pupus sudah. 

Kukunci pintu kamar perlahan. Aku terdiam lama. Tak kuhiraukan suara bu Yusti memanggil untuk makan siang. 
"Mayang, buka pintunya. Ayo makan. Teman-temanmu sudah makan mulai tadi. Mayang…"

Kudengar suara bu Yusti mulai gelisah. "Mayang, buka dong. Ini sudah jam 3 sore. Sudah seharian kamu di kamar. Kalau kamu nggak mau buka pintu, ibu akan memanggil satpam untuk mendobrak pintumu." 

Brak! Pintu kamar terbuka. Samar-samar kulihat semua penghuni panti asuhan berlari cemas menghampiriku yang tergeletak. 
"Ayo cepat angkat Mayang. Panggil ambulans!" teriak bu Yusti. 

Terlambat! Begitu kata bu Yusti kudengar. Aku menutup mataku untuk selamanya. Tanganku terlepas dari pegangan bu Yusti. Mereka semua menangis. Di sebelah jasadku, tergeletak sebotol obat pembasmi serangga, segelas air putih, dan secarik kertas. 

"Terima kasih bu Yusti, bu Nani, dan teman-temanku yang baik. Aku bahagia sudah melalui hari-hariku di panti asuhan ini sampai aku mendengar tentang masa laluku yang kelam. Selamat tinggal semua…" 

Irma

IRMA

Piano itu mengalun kembali. Melantunkan nada-nada Chopin. Memastikan segenap perasaan pemainnya. Kesedihan, kerinduan, frustasi, dan keriangan. Alunannya seakan menangis, tetapi kadang tertawa. Kadang memaki-maki kehidupan, kadang memuji-muji kebesaran Sang Pencipta. Mengajak setiap orang untuk masuk lebih dalam, lebih dalam lagi ke dalam khayalan, daripada memikirkan kehidupan yang semakin ruwet saja. Melodi itu menawarkan kepada pendengarnya, tentang kebahagiaan. 

Mungkin dia sadar, tidak semua orang tahu apa itu bahagia. Kadang bahagia tidak selalu dapat disebut sebagai bahagia. Bahagia selalu punya patokan. Itu pun tergantung pada yang menyebutnya sebagai bahagia. Dan dia paham akan itu.
*
Saya benar-benar kagum akan permainan piano Irma, gadis itu. Saya tidak tahu, apakah permainannya benar-benar merupakan curahan hatinya yang terkadang kesepian, atau pelampiasan alter-egonya, saya tidak tahu. Mungkin saja orang aneh seperti dia memiliki alter-ego. 

Ah, rasanya saya menyesal menyebutnya sebagai orang aneh. Dia tidak aneh. Menurut saya, dia hanya berbeda dari gadis lain sebayanya. Kala teman-temannya ramai berceloteh di sekolah, mengejar-ngejar anak laki-laki, dia malah mengurung diri di dalam sangkar beton itu. Ketika malam, dimana gadis seusianya belajar, menonton televisi, atau mungkin menikmati kencan, dia malah melantunkan nada demi nada yang melankolis. Melodi yang sama setiap hari. Namun tidak membuat saya bosan mendengarnya. Melodi yang selalu menusuk-nusuk hati dan pikiran saya, membuat saya sakit dan menangis, tapi tetap merasakan nikmat luar biasa. 

Malam ini, piano itu bernyanyi lagi. Menyanyikan lagu ninabobo bagi saya. Saya kembali membukan jendela lebar-lebar. Membiarkan musik itu masuk dalam saya, relung hati saya, bersama dengan nyamuk-nyamuk yang kelaparan.

Saya ingat dengan ibu saya. Ibu yang tegar, tegas dan sangat berwibawa. Tapi juga sangat keras kepala. Ibu yang tidak pernah absen mendesak saya untuk berkeluarga. Saya tahu ia ibu saya, orang yang berjudi nyawa saat anak kesayangannya memberontak keluar untuk melihat dunia yang katanya indah tapi busuk di baliknya.

Saya mengerti tentang keinginannya memiliki seorang cucu dari lelaki sematawayangnya ini. Tapi saya tidak bisa mengumbar nafsu pada setiap wanita yang datang dan pergi di hati saya. Wanita dengan madu melumuri tubuhnya, membangikitkan gairah, dan setelah itu meracuni saya. Saya tidak mau. Biarlah harga diri saya hancur, asalkan saya tetap bahagia menikmati yang ada.

Kejengahan saya meracun saya untuk meninggalkan ibu. Meninggalkan orang-orang yang saya cintai, rumah yang penuh kenangan manis, meracun kaki saya untuk melangkah ke dunia baru. Dunia yang independen, individual, di mana masyarakatnya tidak suka mengobok-obok masalah orang lain. Dunia yang benar-benar berjodoh dengan saya, saat itu.

Saya terhenyak ketika melodi pianonya terhenti. Saya menghisap rokok dalam-dalam. Bagi saya, pria dengan rutinitas kerja rendah, rokok merupakan sahabat suka dan duka. Kala suka, saya berteman dengan rokok filter berkemasan mewah. Kala saya susah, rokok klobot pun jadi teman penghibur saya. Rokok benar-benar tidak tergantikan kedudukannya. Andaikan saya adalah rokok pria, saya akan mencari rokok wanita sebagai pendamping hidup saya. Rokok tidak punya perasaan. Kalaupun saya jadi rokok pria ayng ditinggal lari istrinya, saya tidak akan merasa sakit hati. Toh sebagai sebatang rokok, saya tidak harus memberi dan pasangan saya tidak harus menerima. 

Rokok tidak pernah menyakiti sesamanya. Rokok membakar tubuhnya sendiri untuk menemani saya dan orang tua yang punya masalah seperti saya. 

Saya masih menyedot filter saya. Melodi itu kembali menari-nari di telinga saya. Menusuk dan merobek-robek perasaan saya. Menyakiti saya dengan sangat indah. Saya benar-benar merasa nyaman. Asap rokok mengisi rongga dada saya dan piano itu terus merobek-robek menjadi berdarah dan bernanah.

Saya menyukai Irma, gadis yang selalu melukai saya dengan pianonya. Gadis itu selalu mendendangkan lagu yang mengantar saya pada impian dan harapan saya. Saya menyukai gadis yang layak dianggap sebagai cucu saya, gaids yang melukai saya, tetapi kemudian menyembuhkan saya. 

Alunan piano Irma terhenti. Mungkin dia merasakan beban di hari saya. Mungkin merasakan perang batin antara si baik dan si jahat. Tapi tidak mungkin, saya tidak punya ikatan darah dengan Irma. Bercakap-cakap saja tidak pernah, bagaimana saya punya ikatan batin dnegan dia? Saya rasa, saya terlalu banyak mengkhayal. Pikiran saya sudah diracuni oleh Irma. Kasarannya begitu.
*
Hari ini, saya bangun kesiangan. Saya masih merasa lemas. Mungkin karena tadi malam saya terlalu banyak menyedot rokok. Atau mungkin saya kehabisan tenaga melawan racun yang merasuki diri saya.

Saya membakar rokok dan menyedotnya dalam-dalam. Melodi itu mulai lagi. Saya seakan menari-nari di atas balok-balok hitam dan putih yang tersusun rapi. Melodi yang mengiris-iris saya. Musik yang menusuk-nusuk saya.

Melodi pianonya semakin memilukan hati saya. Mengoyak-ngoyak luka yang sudah menganga sedemikian lebarnya. Telinga saya panas dan terasa sakit mendengarkan melodi yang dimainkan Irma. Cairan panas keluar dari seluruh tubuh saya, melelehkan raga saya. Tapi saya gembira disiksa seperti ini, saya gembira, bahagia merasakan sakit yang sedemikian sakitnya, walaupun saya tahu pasti, melodi ini perlahan-lahan membunuh, menggerogoti hidup saya.
*
Saya melihat Irma duduk di sebelah saya. Dia datang sendiri tanpa pembantunya. Dia duduk tenang, memejamkan mata sebentar, mencium kening saya, lalu meninggalkan saya yang sedang tidur-tiduran sendirian. Dia meninggalkan saya di tempat sepi ini. Mungkin dia merasa ini tempat cocok untuk saya. Saya merasa begitu. Saya melihat banyak tidur-tiduran sama seperti saya. Tapi saya tidak suka. Saya ingin protes, saya ingin ikut Irma, saya ingin terus disakiti dengan melodi pianonya, Tapi saya tidak bisa. 
Penulis: Margaretha Yessi Budiono
Siswi SMAK St Louis I Surabaya 

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer