Rabu, 06 April 2016

Jangan Pernah Bilang Sibuk

Jangan Pernah Bilang Sibuk


Oleh Rr Yusnita Ratih J.
Penulis adalah mahasiswa ITS

Akhir-akhir ini musim virus merah jambu. Kemarin Meta ngerayain empat tahun jadian. Mereka seneng banget karena sudah berhasil melewati tahun keempat yang katanya rawan cekcok. 

Kalau Dika, dia jadian sama Meira yang jadi idolanya sejak dia masuk sekolah ini. Beda lagi dengan Yusi. Dia tidak henti-hentinya cerita betapa bangganya dia dikejar-kejar mas Yudha, seniorku yang sekarang sudah kuliah. Kalau aku, biasa-biasa saja. Masih jomblo sejak dua bulan yang lalu dan tidak ada yang perlu diceritakan.

Di antara cerita cinta yang bertaburan di mana-mana, ternyata hanya cerita Yusi yang melibatkan tenaga dan pikiranku. Tiga minggu setelah ams Yudha PDKT, akhirnya terjalin komitmen agak konyol antara siswi SMU kelas tiga dengan mahasiswa semester lima itu. 

Aku dan Meta sebagai pengamat saja. Bagaimana tidak, hampir tidak ada rahasia di antara kami bertiga. Maklum, memang satu komplotan. Tapi Dika agak dianaktirikan karena beda gender. 

Semua yang mas Yudha omongin di telepon selalu ditransfer ke kupingku dan Meta. Sementara ini, cuma lewat omongannya mas Yudha via telepon itu kamu mencoba menilai seberapa serius dia sama Yusi. 

Agak susah sih. Soalnya, omongannya itu pasti yang indah-indah. Tapi selama kenal dan PDKT, sampai akhirnya jadian yang terhitung hampir satu bulan ini, baru dua kali mereka ketemuan. Yusi yang makin hari makin takluk dan mas Yudha yang makin ngeyel bahwa kayaknya tidak ada wanita di dunia ini selain Yusi. 

Dan, semua berjalan baik-baik saja hingga hampir dua bulan, tepatnya satu bulan dua belas hari. Mulai hari ketigabelas semua berubah. Tidak ada lagi SMS indah dan telepon cantik dari mas Yudha. Yusi mulai kebat-kebit. 

Hari-hari yang dulu selalu diwarnai keceriaan sekarang berganti dengan keluhan. Yang kangen lah, BT (Butuh Tatih tayang) lah, hingga kekuatiran jangan-jangan mas Yudha punya cewek lain. 

Alasan yang dilontarkan mas Yudha seputar kuliahnya yang tadinya asing bagi kami. Mulai dari ngerjain tugas besar yang jumlahnya ada tiga biji, ngalkir gambar, dan seabrek kegiatan aneh yang selalu menyita waktu dan pikirannya hingga untuk missed call saja tidak sempat.

Sore ini Yusi sama Meta ke rumahku. Dan lagi-lagi Yusi menebarkan kesedihannya. Kali ini lebih parah dari biasanya. 

"Gimana nggak sedih, udah empat hari ini dia diemin aku. Tadinya aku sengaja nggak call dia. Aku pengin tahu gimana reaksinya. Ee, ternyata sampai sekarang dia tetep diam. Terakhir aku telepon dia alasannya masih sama, sibuk. Dia sekarang lagi ngapain ya? Coba kalau dia nggak jauh, pasti aku bisa tahu apa dia bener-bener sibuk. Aku takut kehilangan dia. Kan kita udah berjodoh banget. Namanya aja cuma beda Si sama Dha. Zodiakku Pisces dan dia Virgo. Cocok tuh. Tapi kok bisa kayak gini ya?" gerutunya. 

Aku mengambil handphone Yusi dan menghubungi mas Yudha. Ternyata benar, belum sampai aku bilang apa-apa, dia sudah ngomong duluan, "Aduh, sori ya, lagi sibuk nih. Besok aja ya aku telepon. Daa, sayang." Klik. Tuut..tutt…

Bukan hanya aku. Meta dan Yusi pun merasa ada sesuatu yang salah. Dan ternyata benar, dia hari kemudian mereka putus. Mungkin Yusi dianggapnya seonggok liliput dalam telepon yang cuma di-SMS, ditembak, dan diputusin lewat telepon. 

Alasan mas Yudha adalah dia merasa nggak mantep nerusin hubungan dengan Yusi. Dia takut Yusi kecewa mencintai dia. Wah, kayak lagunya Dygta. Tapi alasan itu terlalu klasik dan tidak logis.

Hari berikutnya menuntut kami untuk bisa memperlakukan Yusi lebih hati-hati. Gara-gara cintanya yang kandas dia menjadi kacau. Password yang nggak boleh didengar Yusi adalah kata "sibuk". 

Kalau ada Yusi, kata itu harus diganti dengan kata lain. Repot misalnya. Kalau tidak, dia bakalan nangis kenceng sambil teriak-teriak panggilin mas Yudha. Memprihatinkan!

Dua bulan berlalu. Kami sekuat tenaga mengembalikan Yusi menjadi normal. Kali ini ada Andi, anak kelas tiga, yang bantuin. Seminggu yang lalu mereka jadian. Dan semua sudah berubah.

"Yus, mau ke mana? Buru-buru banget?" sapaku. 

"Eh, sori, aku lagi sibuk nih. Ngurusin pelepasan kelas tiga. Tolong kamu bilang ke Reza ya, dia lagi sibuk di ruang OSIS. Thanks ya," katanya sambil berhenti sebentar dan kemudian bergegas lagi.

Tit tilut tit. Bunyi handphone Yusi. "Iya, iya, aku lagi sibuk nih. Katanya papa juga sibuk rapat, mama sibuk nyiapin arisan. Bla-bla-bla…"

Aku hanya tersenyum mendengar kata "sibuk" yang dulu sempat menjadi momok sekarang selalu meluncur dari bibir mungilnya. Cinta, kali ini kamu menang, kamu berhasil membuat seseorang berbeda. Dulu, sekarang, dan mungkin beberapa detik kemudian. Harusnya bukan kamu, ya, bukan kamu. 


Jangan Percaya Apa Kata Bintang

Jangan Percaya Apa Kata Bintang (Oleh: Wangsa Nestapa) 

"Serius Ivan. Aku tuh kemarin lihat di majalah punya Wina. Dan ramalan di dalamnya mengatakan, aku bakal mendapat durian jatuh di kepala. Dan tadi malam, aku kehilangan ponsel ketika tengah makan ketoprak di depan Plaza." Noli sampai melotot berbicara seperti itu kepadaku. Mungkin, biar ucapannya lebih meyakinkan.

"Ah, itu sih kamunya saja yang ceroboh. Ramalan itu enggak akan ada arti kalau bukan kita sendiri yang memulai dan telanjur mempercayainya." Kuseret pandanganku dari wajah Noli yang terlihat serius.

"Gimana mau enggak percaya. Coba, setiap kali aku baca horoskop, ramalannya selalu saja berbicara sesuai dengan apa yang aku alami. Paling enggak nyerempet. Dan pengalaman tadi malam malah bikin kepercayaanku tambah klop bahwa ramalan itu bukan sekedar omdo alias omong doang," ucap Noli mantap. Ia menaruh gitar bolong yang sedari tadi digenjreng-genjrengkan. Sisa es jeruk di gelas, diteguk habis olehnya.

Aku kira Noli sudah telanjur amat mempercayai ramalan yang menggambarkan kepribadian dia di bawah garis binatang-binatang sebagai simbolnya. Meski sebenarnya, aku pun tak bisa memungkiri, ucapan Noli pun sesuai dengan isi kepalaku. Tapi aku tak terlalu menanggapi semua isi yang tertera di zodiakku. Tidak seperti Noli yang begitu antusias mempercayai keseluruhannya. Kalau aku membaca, paling sebatas hiburan. Kalau tebakan zodiak tepat, paling banter aku tersenyum memberi aplaus atas kehebatan si peramal atas kepekaannya menebak-nebak jalan hidup manusia. Kalau untuk mempercayainya, nanti dulu. Toh itu kan hanya ramalan, belum tentu betulnya.

Dan semakin lama, Noli semakin parah dengan kepercayaannya terhadap ramalan bintang. Ia seolah menggantungkan nasibnya pada ramalan. Kalau saja aku ini bukan temannya dan ia tidak sering bercerita tentang pengalamannya yang kadang membuat gelisah dia sendiri itu, aku akan berani mengatakan secara langsung kepadanya bahwa ia gila!

Dan sore itu, selepas bimbel sekolah, Noli berlari menghampiri seraya melambai-lambaikan majalah di tangan. Pasti tentang ramalan bintang. "Van, liat nih. Zodiakku bilang, aku bakal ketiban sial. Dan pesannya, aku enggak boleh keluar rumah seminggu ini. Aku takut, Van!" ucap Noli.

Tepat sekali perkiraanku, mungkin kalau Noli tahu tebakanku jitu, ia pasti memintaku untuk menjadi peramal pribadinya. Ih, jangan sampai deh.

"Takut? Takut apaan? Takut zodiak kamu itu salah? Atau takut karena kamu seminggu ini enggak akan keluar karena mempercayai omongan bintang kamu di majalah itu lagi?!" balasku tetap berjalan dengan pandangan lurus melewati lorong sekolah.

"Takut kalau ramalan ini betul lagi, dong Van. Aku enggak mau ketiban duren untuk kedua kalinya! Tapi, masak aku mesti ngurung diri seharian penuh selama seminggu dalam rumah?" ucap Noli cemas. Aku enggak tahu harus berbuat apa untuk meladeni sikapnya saat itu. Kalau saja ramalannya buruk, ia kerap menemui dan mengatakannya kepadaku. Sedang kalau gembira, ia lebih sering menyimpannya dalam hati.

Dua minggu lalu saja, ketika impiannya bertemu dengan bintang idolanya di teve karena memenangkan tiket nonton konser secara langsung, ia tak menceritakan kalau prediksi ramalan bintangnya menjadi nyata. Dan satu minggu kemudian, barulah ia bercerita bahwa Pisces memberi keuntungan baginya. Sedang kali ini, mungkin ekor Pisces-nya buntung!

"Terus, kamu mau apa?"

"Dih, kok kamu nanyanya kayak gitu sih, Van?" cerocos Noli

"Abis, mau apa lagi?" jawabku sekenanya.

"Ya ngasih saran atau apa kek!"

"Saran? Untuk apa? Percuma aku ngasih saran ke kamu kalau kamunya enggak pernah ngedengerin apa yang aku omongin."

"Memangnya, kamu kira selama ini aku enggak ngedengerin omongan kamu?" "Ngedengerin sih! Tapi masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Kuping kamu itu kayak terowongan ini, cuma tempat masuk-keluar anak-anak. Setiap omonganku yang masuk, enggak pernah dicerna sebelumnya!"

"Contohnya?" tandas Noli. "Contohnya? Seperti sekarang ini, Non! Misalkan, aku ngasih saran ke kamu supaya kamu enggak usah percaya sama ramalan bintang itu. Tapi sepertinya, kamu emoh untuk mengikuti saranku dan tetap melaksanakan apa kata bintangmu itu. Betul kan?" ucapku mengira-ngira. Noli terlihat memiringkan kepala seolah meresapi dan mencoba memahami ucapanku. Jari manisnya bersandar di pipi dengan siku tertopang telapak tangan yang kiri. Tapi tak lama kemudian, ia segera menyudahi karena becak yang dipanggil keburu datang menghampiri. Ia naik begitu saja tanpa pamit atau sekedar say god bye kepadaku setelah sebelumnya ia mengatakan bahwa aku itu lelaki yang sok tahu. Keesokan harinya selepas pulang sekolah, aku tak menemui Noli yang biasa nongkrong di bawah pohon mangga untuk pulang bersama. Dan aku tak terlalu ambil pusing dengan ketiadaannya. Sekaligus, aku merasa senang karena bisa menghindar dari pembicaraannya yang tak jauh dari ramalan bintangnya.

Jujur saja, aku sebenarnya penat mendengarkan ocehannya yang bertalian dengan ramalan. Pusing, karena aku hampir setiap malam memikirkannya. Dahulu, Noli tak seperti itu. Tapi belakangan ini, setelah main ke rumah Wina yang langganan majalah yang ada zodiak di dalamnya, ketertarikan Noli terhadap horoskop semakin menggila. Malah ia rela datang ke lapak majalah sekedar melihat ramalan tanpa membeli majalahnya.

Dan aku merasa yakin ucapanku di lorong sekolah itu benar, saat keesokan harinya aku kembali tak menemukan Noli di tempat biasa. Keesokan dan keesokan harinya lagi. Apalagi setelah Wina mengatakan bahwa Noli terlihat aneh belakangan ini. Setelah bel pelajaran selesai, tanpa basa-basi ia langsung pulang. Dan saat jam istirahat berlangsung, ia rela ngendon di dalam kelas. Tadi malam saja, Noli menolak ketika Wina dan beberapa teman mengajaknya untuk ngeceng ke mal. Biasanya, kalau untuk urusan pergi ke mal bareng temen, Noli paling bersemangat. Sepertinya, ia takut kalau ramalannya menjadi nyata, jika ia keluar rumah seperti yang tertera dalam zodiaknya.

Ternyata tidak! Perkiraanku tak tepat, karena sehari setelah aku meyakinkan tepatnya tebakanku, Noli terlihat ceria di tempat biasa. Duduk sendiri sembari menikmati kacang atom. Sama sekali tak tersirat perasaan cemas di wajahnya seperti saat ia mengatakan tentang ketakutannya terhadap ramalan bintang di lorong sekolah beberapa waktu lalu. "Haiii!" sapanya cengengesan, bikin aku penasaran. Ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi dengannya.

"Udah nongol, nih. Engak takut ketiban duren lagi, Non!?" tanyaku sembari mencomot beberapa butir kacang atom.

"Enggak tuh, musim berbuah pohon duren sudah habis. Jadi, enggak ada duren yang jatuh," ucap Noli santai. "Lihat, zodiakku bilang, aku hoki minggu ini. So, enggak ada alasan kalau aku bakal ketiban duren, dong!!!" lanjut Noli seraya melempar sebutir kacang atom ke udara, kemudian melesat ke dalam mulutnya. Ia mengeluarkan majalah dari dalam tas dan membuka lembar zodiak lalu menyodorinya kepadaku. Aku sekilas melihat tulisan tersebut dan tersenyum kepadanya.

"Jadi, kamu percaya kan bahwa zodiak itu enggak selalu benar?" "Ah, enggak juga tuh!"

"Kan durennya enggak jatuh ke kepala kamu!"

"Lantas, bukan berarti aku enggak percaya lagi dong! Soalnya, minggu ini zodiakku bilang, aku bakal menimba emas dari sumur. Itu tandanya, aku bakal dapet rejeki. Sayang dong kalau aku ngelewatin begitu saja."

"Ah, kamu itu, Non! Aku kira kamu udah insaf. Ternyata belum."

"Huuu…." Noli langsung mencibir dan menggamit tas untuk pulang bersama. Seminggu sudah waktu bergulir menggelindingkan hari. Noli belum merasakan kalau ramalan bintangnya menjadi nyata. Tapi ia tak kecewa, mungkin belum saatnya. Apalagi setelah ia melihat kembali zodiak keluaran terbaru, isinya tak jauh beda seperti minggu lalu. Ia semakin optimistis, bintang jatuh bakal datang kepadanya. Tapi sama saja, berhari-hari ia menunggu, hasilnya nihil, alias tak ada.

Lama-lama, Noli jadi frustrasi sendiri, karena yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang menghampiri. Dan ini semua ada hikmah untuknya. Mungkin Sang Pencipta tak suka melihat makhluk ciptaannya terlampau mengekspos diri dalam hal ramal-meramal. Takdir hidup manusia itu kan tak bisa ditentukan lewat ramalan, melainkan Dia sendiri yang telah menentukan.

Dan menurutku, mungkin kesadaran Noli dari dunia ramal-meramal adalah bintang jatuh yang selama ini ditunggu-tunggu olehnya. Dan perlahan, perasaan bangga mulai mencuat kepadanya, karena orang yang aku cintai dan sayangi selama ini telah kembali seperti semula. Alhamdulillah. Thanks, God!
egon, 2 Juni 2004) 



Jamin, Perbaiki Kuburanku !!!

Jamin, Perbaiki Kuburanku !!! - Gusrianto
Dikemas 19/04/2003 oleh Editor  

Jamin baru saja menghabiskan sepotong goreng pisang buatan istrinya ketika dilihatnya Dirman -warga yang rumahnya di ujung desa- tergopoh-gopoh memasuki halaman rumahnya. Orderan lagi nih, batin Jamin melihat kedatangan Dirman, lalu meminum seteguk kopi di cangkirnya dan kemudian menyongsong Dirman ke halaman
"Pak Jamin…" masih dengan nafas memburu Dirman langsung bicara.
"Ada apa, Dir?" tanya Jamin, padahal sebenarnya dia sudah dapat menebak apa maksud kedatangan Dirman.
"Dinihari tadi nenek kami meninggal…" nah, benarkan? Batin Jamin lagi.
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un." Ucap Jamin, mimik wajahnya turut berduka. Tapi hatinya? Hatinya bersorak riang. Bagaimana tidak? Sudah lebih dua minggu, tapi tak seorangpun yang meninggal dunia. Kemarin istrinya sudah meminjam beras sama tetangga sebelah, dan dua hari yang lalu, Rini -anaknya yang sekarang sudah kelas 2 SMP- juga meminta uang sekolah yang memang belum dibayar.
"Rencananya nanti siang mau dikebumikan, Pak. Apakah bisa selesai sebelum siang?" Dirman bertanya.
"Bisa, Dir. Akan saya usahakan." Hanya itu jawaban Jamin, kemudian Dirman pamit setelah sebelumnya Jamin mengatakan akan menyusul sebentar lagi
Jamin masuk ke dalam rumahnya yang tidak begitu bagus -dindingnya masih dari papan- dan terus ke kamar untuk mengganti bajunya dengan pakaian dinasnya.
Penggali kubur. Ya…itulah profesi yang telah dilakoninya selama ini, tepatnya sejak ia menikah dengan Halimah, dua puluh tahun lalu. Seluruh warga desa mengenalnya dengan baik, bahkan ada juga warga desa sebelah yang memanggilnya untuk menggalikan kuburan bagi keluarga mereka yang meninggal. Dan tentu saja Jamin akan mendapatkan imbalan atas jerih payahnya itu. 
Selama 20 tahun sudah pekerjaan sebagai penggali kubur dijalaninya, dan ternyata itu mampu menghidupi keluarganya. Apalagi kalau musimnya orang meninggal, bisa-bisa mereka sekeluarga makan daging ayam tiap hari. Tapi kalau tidak ada orderan, alias tidak ada orang yang memintanya membuatkan kuburan, ya seperti sekarang ini, istrinya sampai-sampai harus meminjam beras sama tetangga. 
Tapi apakah Jamin selalu berharap atau mendoakan agar ada warga desa yang meninggal? Ah, dia sendiri tidak tahu, yang jelas dia akan senang kalau ada orang yang meninggal dunia
Sebenarnya Halimah sudah sering mengingatkannya agar mencari pekerjaan lain, setidaknya sebagai sampingan jikalau tidak ada orang yang meminta untuk menggali kuburan.
"Bang…sawah peninggalan bapak kan tidak ada yang mengurus. Apa salahnya jika kita yang menggarapnya." Begitu kata Halimah suatu hari.
"Tapi kan kita tidak kekurangan, Mah. Bukankah dengan pekerjaanku sebagai penggali kubur kita masih bisa bertahan hidup?" jawab Jamin.
"Iya, tapi itukan kalau lagi ada orderan. Tidak mungkin tiap hari akan ada orang yang meninggal, Bang." Kalau sudah begitu Jamin akan diam. Memang …tidak mungkin setiap hari ada yang memintanya untuk menggali kuburan. Ada orderan seminggu sekali saja itu sudah lumayan. Tapi begitulah Jamin, tak mau mendengar kata istrinya.

***

"Jamin!!" Jamin menoleh ke belakang, mencari asal suara yang memanggilnya. Pak Ramli rupanya.
"Ada apa, Pak?" tanya Jamin. Pak Ramli mendekatinya. Saat itulah Jamin baru tersadar, keringat dingin langsung bercucuran di tubuh dan wajahnya. Pak Ramli? Bukankah dia baru kemarin dikuburkan? Bukankah dia sendiri yang menggali kuburan buat Pak Ramli? Jamin berniat lari, tapi kakinya seperti dipakukan ke tanah. Dia hanya mampu berdoa.
"Perbaiki kuburanku, Jamin! Terlalu sempit." Pak Ramli berteriak, marah. "Tak bisakah kau membuat kuburan yang lebih bagus?" ujarnya lagi. Jamin pias. Sesaat dipejamkannya matanya, lalu kemudian dengan kekuatan penuh dia mencoba lagi untuk berlari. Berhasil, sekuat tenaga Jamin berlari.
"Jamin!!! Perbaiki kuburanku." Jamin terus berlari, menutup kedua telinganya. Pak Ramli mengejarnya. Jamin makin panik. Pak Ramli kini tak sendiri. Ada Mak Minah yang meninggal dua minggu lalu, ada Ucok yang masih berusia tujuh tahun -meninggal karena ditabrak motor sewaktu pulang sekolah-, ada Karta, Bedi, juga bayinya Surti yang belum sempat diberi nama, semuanya sudah meninggal, dan semuanya dia yang menggalikan kuburannya. Mengapa mereka mengejarnya?
"Jamin…perbaiki kuburan kami!!!" suara-suara itu terus mengejarnya. Jamin capek, tak kuat lagi. Usianya sudah kepala lima, tak sanggup lagi berlari lebih jauh. Begitu orang-orang (-atau mayat) itu mendekatinya, Jamin berteriak…..
"Tidaaaakk!!!!"
Seseorang memegang pundaknya. Mengguncangnya, Jamin merinding, apakah yang akan mereka perbuat? Membunuhnya?
"Bang…bangun!" itu suara Halimah. Jamin membuka matanya. Halimah duduk di sampingnya dengan segelas air putih ditangan. "Mimpi apa sih, Bang? Kok teriak-teriak begitu." Jamin meminum air di gelas itu sampai habis.
"Mereka mengejarku, Mah?"
"Mereka? Siapa?" Halimah bingung, heran, mimpi apa suaminya?
Saat itulah Jamin melihat Haji Suleman di pintu kamarnya. Haji Suleman, dia tetangga Jamin, rumah mereka bersebelahan. Tapi Haji Suleman telah meninggal sepuluh tahun lalu. Jamin sendiri yang menggalikan kuburan untuknya. Apakah Haji Suleman juga mengincarnya? Tapi kenapa?
"Itu Mah, itu dia…" Jamin menunjuk ke pintu, lalu membenamkan kepalanya di bantal. Halimah heran, tak tahu apa yang harus di perbuat.
"Siapa, Bang?" tanyanya.
"Itu di pintu, Mah. Cepat usir dia, cepat bacakan ayat-ayat suci."
"Bang…mana?" Halimah tak menemukan apapun di pintu.
"Mereka mau membunuhku, cepat usir, Mah." Jamin menggigil ketakutan. Perlahan dia membuka matanya dan kembali menatap ke pintu kamar. Haji Suleman masih di sana. Tapi… dia tersenyum. Sedikit perasaan Jamin jadi tenang.
"Jamin…" Haji Suleman memanggilnya lembut. "Kau tahu kenapa mereka mengejarmu?" Jamin menggeleng. Halimah di sampingnya keheranan. Bingung melihat tingkah Jamin.
"Jamin…mulai sekarang kau harus luruskan kembali niatmu. Memang, jadi penggali kuburan adalah perbuatan mulia, sangat mulia. Bukankah karena itu kau dulu memilih profesi ini?" kembali Jamin mengangguk, dan kembali Halimah keheranan. "Sekarang niatmu sudah menyimpang, sudah membelok dari yang dulu pernah kau janjikan. Niatmu menggali kuburan adalah untuk mendapatkan uang, sehingga kau tidak lagi bekerja dengan ikhlas karena tujuanmu bukan pahala dari Allah. Sehingga hasilnya pun tidak sebaik dan sesempurna dulu lagi." Jamin terdiam, semua yang dikatakan Haji Suleman memang benar. 
"Jamin, luruskan kembali niatmu. Bekerjalah karena Allah, jangan karena uang." Usai berkata begitu Haji Suleman menghilang. Jamin tergugu di tempat tidurnya. Dua tetes air mata jatuh merembes di pipinya. Ingatannya melayang pada dua puluh tahun silam.
"Benar kau ingin melanjutkan profesi bapak?" Jamin mengangguk di samping bapaknya yang terbaring lemah. Bapaknya tersenyum bangga.
"Bukankah itu pekerjaan mulia, Pak?" Bapaknya kembali mengangguk.
"Tapi ingat ya? Bekerjalah dengan niat karena Allah semata, jangan pernah mengharapkan imbalan dari pekerjaanmu, kecuali kalau mereka memang ikhlas memberi, yang penting jangan meminta, apalagi sampai memasang tarif." Kembali Jamin meng-iyakan perkataan bapaknya. 
Dan kuburan pertama yang digali Jamin adalah kuburan untuk bapaknya sendiri, karena keesokan harinya si bapak meninggal dunia.
"Bang…"Halimah mengguncang tubuh Jamin. Jamin menoleh, menatap istrinya, dan air matanya mengucur makin deras.

Kamar kost, 25 Oktober 2002



Jam 7 Pagi

Jam 7 Pagi - Joko Sutrisno
Dikemas 02/04/2003 oleh Editor  


Ia bangun jam 7 pagi. Agak murung pagi ini. Biasanya bangun jam 9 pagi, merokok, nonton TV, sarapan dengan temannya, onani, lalu membaca buku. Dilakukannya itu tiap hari. Ia tidak menikmati juga tidak bosan dengan hal itu. Jelasnya, yang membuat ia murung pagi ini adalah ia bangun jam 7 pagi, lebih awal dari biasanya.

Baginya, bangun lebih awal merupakan sesuatu yang asing, diluar kebiasaan. Apalagi bangun lebih awal 2 jam. Ia tidak tahu kenapa harus bangun jam 7 pagi, padahal seluruh tubuhnya, mulai dari mata, jari – jari, kaki, sistem syaraf, regulasi, ekskresi, dan semuanya. Pendeknya udara yang masuk ke dalam paru – paru akan menggerakkan tubuhnya tepat jam 9 pagi.

Pagi ini, hatinya hancur. Kesedihan menyerangnya. Ia gagal menjadi manusia biasa yang terbiasa dengan kebiasaannya. Ia, menyesal, bahkan terlalu menyesal. Dan penyesalan adalah kata lain dari harapan. Sesuatu yang harus dibuangnya jauh – jauh. Ia tidak putus asa tetapi hanya tak punya harapan. Ia merasa ketika bangun pagi jam 9 pagi, terus – menerus, setiap hari, tiba – tiba harus bangun jam 7 pagi. Ternyata benar yang ditakutinya selama ini. Rutinitas telah menciptakan harapan. Jika ia bangun jam 7 pagi, pertama kali yang disesalinya adalah ia ingin kembali bangun jam 7 pagi. Harapan telah tumbuh dan tumbuh semakin tinggi tiap detik, menit, mengikuti tingginya matahari jam 9 pagi. Memberontak terhadap rutinitas tetapi sebenarnya menciptakan rutinitas baru.

Hal ini, terus terang menurutku, sangat memuakkan. Betapapun bodohnya. Andaikan ia bangun jam 7 pagi, dianggap jam 7 adalah jam 9 pagi. Ataupun jika ia bangun jam berapapun dan tak peduli dengan hal – hal remeh seperti itu. Ia tidak akan tersiksa dengan pikiran – pikiran konyol. Itulah ia. Terlalu sering berpikir hal - hal yang remeh, simpel, dan mesum ( Aku mengutip kata ini dari koran ). Ia membuat pagi ini menyebalkan. Aku pikir saraf otaknya terganggu, tersumbat nikotin yang dihisapnya setiap bangun jam 9 pagi.

Tiba – tiba ia bangkit. Aku tersenyum kecut. Mungkin ia sudah menemukan jawabannya. Berjalan turun menuju warung disamping kost. “ Mas, coffemix satu!”. Ia duduk sambil terus diam. Tak peduli disampingnya teman teman asyik ngobrol. Entah apa yang diomongkan. Kata – kata memuakkan seperti absurditas, tirani seksual, essensi, revolusi sistemik, Khrisnamurti, pemekaran cabang bersemburan. Seakan – akan ingin keluar dari mulut bercampur dengan ludah. Ia tak mengerti , mengapa senang berbicara hal – hal aneh ( entah berapa sering aku menyebut hal – hal. Aku tak menemukan kata yang lain untuk mendefinisikan hal ini ). Bukankah asyik membicarakan paha perempuan mulus atau payudara gadis – gadis kampus yang semakin menonjol tiap hari. 

Andaikan bangun jam 9 pagi, pikirnya, aku akan merokok, nonton, sarapan pagi, pulang onani, lalu selesai mandi membaca buku. Ia sangat terpukul, aku iba melihatnya. Jika tahu akan seperti itu, tentu kubangunkan jam 9 pagi, atau setidaknya aku berdoa supaya ia bangun jam 9 pagi. Tetapi aku tetap tidak mengerti, mengapa ia begitu sedih karena bangun lebih awal 2 jam. Toh, orang lainpun bangun jam 5, sembahyang, mengerjakan hal – hal lain untuk menghabiskan hari. 

Aku sudah lama kenal dengan dia. Kami selalu berdua. Makan berdua, tidur berdua, ke kampus berdua, onani berdua. Ia lahir dari sebuah keluarga bahagia. Seorang ibu yang terlalu menyayanginya hingga membuatnya menjadi laki laki lemah. Cinta itu melemahkan. Hanya saja pagi ini aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuknya. Kunyalakan rokok. Ya, setiap kesedihan harus dirayakan dengan rokok.

Detik demi detik, menit demi menit, matahari semakin tinggi menuju jam 9 pagi. Tiba – tiba semua simpatiku berubah menjadi kemuakan. Ya, kemuakan. Aku muak dengan kecengengannya. Ia gagal sebagai seorang laki – laki sejati, sebagai manusia yang seharusnya jantan, tegar berhadapan dengan realitas. Kugeret tangannya, kutarik keras –keras. “ Cepat bayar. Kita pulang ke kost.”. Ia menurut saja. Ingin sekali kukeluarkan otaknya dan kulempar pada anjing kudisan. Biar ia tahu kalau bangun jam 7 pagi sama saja dengan bangun jam 9 pagi. Dan kamipun pulang. Seperti biasa kami berjalan, diam dan diam. “ Apa yang kau pikirkan, hah !”, bentakku. Ia diam saja. “ Aku ingin bunuh diri.”, jawabnya datar. Aku terhenyak. Seluruh saraf otakku mendidih. Tanganku bergetar. Ingin sekali kuludahi mukanya. Aku harus menguasai diriku. Sampah seperti dia akan menjadi – jadi jika orang bereaksi semua perkataannya. Ia pikir dirinya filsuf hebat yang hanya bisa bermain konsep dan akrobat verbal yang diaklektis ( aku juga suka mengutip kata – kata ini ). ” Oke, jika kamu ingin bunuh diri, silakan. Tetapi sebutkan alasannya.”, tantangku. Pandangannya kosong. “ Aku tidak punya alasan.”, jawabnya pendek. “ Pasti kamu punya alasan. “.”Apakah setiap yang aku lakukan harus mempunyai alasan.”, sanggahnya. “ YA!”, jawabku mantap. “Realitas memerlukan alasan. “ . Ia terdiam.

Matahari mulai tenggelam. Aku pulang menuju kost. Hari ini begitu melelahkan. 

Entah kenapa hari ini tulangku tak mamu menyangga tubuh.. Mungkin aku masih memikirkannya. Aku tinggalkan dia setelah pertengkaran pagi tadi. Aku gagal mendesak dia menyebutkan alasannya ingin bunuh diri. Ah, sampai juga aku dikost. Aku langsung terkapar di kasur. Kemana ia hari ini, pikirku. Biasanya, jika aku pulang, ia pun pulang. Tetapi kali ini tidak. Samar – samar kulihat kertas bertulis pulpen merah dipojok kamar. Kuraih kertas berhuruf kapital itu.

JIKA AKU BUNUH DIRI, AKU TIDAK PERLU ALASAN. TETAPI AKU HARUS BERKOMPROMI DENGAN REALITAS KARENA REALITAS MEMERLUKAN ALASAN. KATAKAN PADA REALITAS, ALASAN YANG DITUNTUTNYA ADALAH.

Matahari bergerak turun dari langit. Senja memerah. Senja hari ini mungkin adalah senja paling indah. 



Yogyakarta, 25 April 2002



Jalan Terakhir

Jalan Terakhir

Oleh Diyah Nastiti H.
Penulis adalah mahasiswa Univ. Surabaya

Sebenarnya aku bahagia tinggal di panti asuhan ini. Tapi entahlah…perasaan itu berubah ketika teman sekamarku dijadikan anak angkat oleh keluarga yang kaya raya. Perasaanku jadi iri.

"Kenapa Irna? Kenapa bukan aku?" Aku bertanya-tanya dalam hati.
Bagiku Irna bukanlah fokus perhatian di panti asuhan ini. Bahkan boleh dibilang, akulah orang yang selalu dijadikan fokus perhatian. Bukannya aku sombong, tapi menurut semua penghuni panti asuhan, aku adalah anak yang cerdas, periang, cekatan, suka menolong, dan wajahku juga nggak jelek-jelek amat. 

"Lantas, apa saja kriteria untuk menjadi anak angkat?" Aku membatin kelu. 
***
Sudah seminggu Irna menjadi anak angkat keluarga Gunawan. Dan, dia berencana mengunjungi panti asuhan ini, untuk menceritakan pengalamannya menjadi anak angkat. Semua menunggu berdebar-debar, termasuk aku. 

Tepat jam 3 sore sebuah mobil sedan biru metalik memasuki halaman panti asuhan. Begitu mobil berhenti, sesosok kepala menyembul dari balik pintu mobil yang terbuka. 

"Halo semua. Apa kabar? Aku kangen lho."
Irna berlari sambil merentangkan tangannya. Kami berpelukan. Irna berjalan menuju ruang tamu dan duduk di sana. Tempat kami biasa menghabiskan malam yang panjang sambil nonton TV. Sedetik kemudian aku mendengar suaranya yang renyah. 

"Teman-teman, aku bahagia sekali tinggal di keluarga Gunawan. Orang tuaku baik banget. Mereka sangat memanjakan dan menyayangiku seperti anaknya sendiri. Aku punya 3 kakak cowok yang sayang banget sama aku. Aku sering dibeliin baju yang bagus-bagus. Diajak ke tempat yang indah-indah…"

Irna terus mengoceh, betapa bahagia tinggal di keluarga barunya. Sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku melamun dan membayangkan betapa bahagiaya seandainya aku menjadi Irna.

"Kapan aku mempunyai keluarga?"
***
Selama 15 tahun menghuni panti asuhan ini, aku belum mengetahui mengapa aku berada di panti asuhan Kasih Bunda ini. Dari cerita yang kutahu dari pengurus panti, aku dilahirkan dari keluarga yang tidak mampu. Orang tuaku tidak mempunyai biaya yang cukup untuk merawatku, bahkan untuk mendapatkan sesuap nasi pun mereka kesulitan. 

Tapi siang ini, secara tidak sengaja aku mendengar namaku disebut-sebut bu Yusti dan bu Nani, pengurus panti, saat aku melintasi kantor utama panti asuhan. Aku mendekat untuk mendengar suara mereka dari balik pintu yang tidak tertutup rapat.

"Kasihan Mayang. Dia anak yang cerdas, cekatan, ramah, dan suka membantu. Sayang, orang tuanya tidak bisa melihat perkembangannya. Coba kalau orang tuanya ada di sini, pasti mereka bahagia melihat keadaan Mayang sekarang."

"Itu suara bu Yusti," batinku.
"Iya, Mayang juga pasti bahagia sekali mempunyai keluarga yang utuh. Saya juga prihatin dengan nasib Mayang. Sekarang dia benar-benar sudah tidak mempunyai orang tua. Sejak AIDS merenggut nyawa mereka, 7 tahun lalu."

Aku terhenyak. Bumi tempatku berpijak rasanya berputar. Aku cepat berpegangan pada pot bunga besar yang ada di depanku. Aku terduduk lemas. 
"AIDS? Tujuh tahun lalu? Jadi, sebelum tujuh tahun lalu aku masih punya orang tua?"
Pikiranku menjadi kacau. Tapi sedetik kemudian aku menemukan jawabannya. 

"Kasihan orang tua Mayang. Mereka harus membayar mahal akibat pekerjaan mereka. Hanya karena tidak punya keahlian dan keterampilan tertentu mereka bekerja sebagai pramuwisma dan mucikari. Hanya agar mereka bisa bertahan hidup. Penduduk sekitar tempat tinggal mereka memandang jijik dan menganggap kehadiran orang tua Mayang adalah aib, kotor, dosa, dan neraka buat lingkungan. Apalagi sejak kelahiran Mayang yang dianggap anak haram dan tidak pantas tinggal di lingkungan mereka. Padahal dalam agama apa pun tidak ada yang namanya anak haram. Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci meskipun orang tuanya berbuat salah. Ya, daripada Mayang merasakan beban orang tuanya, akhirnya dititipkan di sini," jelas bu Yusti panjang lebar.

Lalu mereka terdiam lama. Aku yang mulai tadi mendengar sudah tidak dapat menahan air mata. Aku merasa bumi menelanku hidup-hidup. Aku sudah tidak kuat berdiri, apalagi berjalan. 

Tapi, kalau aku terlalu lama berada di balik pintu ini, mereka akan mengetahui kehadiranku. Dengan sekuat tenaga aku berdiri dan memaksakan kakiku untuk berlari ke kamar. Air mataku semakin deras mengalir. Pikiranku melayang entah ke mana. Kuacuhkan tatapan heran teman-teman.

Brak! Kubanting pintu kamar dan kukunci. Aku mengempaskan badanku ke ranjang. 

"Ya Tuhan, ternyata aku anak seorang PSK dan germo. Aku anak haram. Tuhan, aku benci ayah dan ibuku. Aku benci mereka…" Aku membatin berulang-ulang. Kepalaku penuh sesak dengan kata-kata itu. 
***
Tiga hari sudah kulewati masa berat itu. Aku jadi pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun dan mengunci pintu di kamar. Teman-teman memandangku heran. Aku yang biasanya ceria berubah seperti ini. Tapi aku tetap diam. Tak kujelaskan mengapa aku menjadi seperti ini. Suatu saat mereka pasti tahu. Harapanku untuk mempunyai sebuah keluarga pupus sudah. 

Kukunci pintu kamar perlahan. Aku terdiam lama. Tak kuhiraukan suara bu Yusti memanggil untuk makan siang. 
"Mayang, buka pintunya. Ayo makan. Teman-temanmu sudah makan mulai tadi. Mayang…"

Kudengar suara bu Yusti mulai gelisah. "Mayang, buka dong. Ini sudah jam 3 sore. Sudah seharian kamu di kamar. Kalau kamu nggak mau buka pintu, ibu akan memanggil satpam untuk mendobrak pintumu." 

Brak! Pintu kamar terbuka. Samar-samar kulihat semua penghuni panti asuhan berlari cemas menghampiriku yang tergeletak. 
"Ayo cepat angkat Mayang. Panggil ambulans!" teriak bu Yusti. 

Terlambat! Begitu kata bu Yusti kudengar. Aku menutup mataku untuk selamanya. Tanganku terlepas dari pegangan bu Yusti. Mereka semua menangis. Di sebelah jasadku, tergeletak sebotol obat pembasmi serangga, segelas air putih, dan secarik kertas. 

"Terima kasih bu Yusti, bu Nani, dan teman-temanku yang baik. Aku bahagia sudah melalui hari-hariku di panti asuhan ini sampai aku mendengar tentang masa laluku yang kelam. Selamat tinggal semua…" 

Irma

IRMA

Piano itu mengalun kembali. Melantunkan nada-nada Chopin. Memastikan segenap perasaan pemainnya. Kesedihan, kerinduan, frustasi, dan keriangan. Alunannya seakan menangis, tetapi kadang tertawa. Kadang memaki-maki kehidupan, kadang memuji-muji kebesaran Sang Pencipta. Mengajak setiap orang untuk masuk lebih dalam, lebih dalam lagi ke dalam khayalan, daripada memikirkan kehidupan yang semakin ruwet saja. Melodi itu menawarkan kepada pendengarnya, tentang kebahagiaan. 

Mungkin dia sadar, tidak semua orang tahu apa itu bahagia. Kadang bahagia tidak selalu dapat disebut sebagai bahagia. Bahagia selalu punya patokan. Itu pun tergantung pada yang menyebutnya sebagai bahagia. Dan dia paham akan itu.
*
Saya benar-benar kagum akan permainan piano Irma, gadis itu. Saya tidak tahu, apakah permainannya benar-benar merupakan curahan hatinya yang terkadang kesepian, atau pelampiasan alter-egonya, saya tidak tahu. Mungkin saja orang aneh seperti dia memiliki alter-ego. 

Ah, rasanya saya menyesal menyebutnya sebagai orang aneh. Dia tidak aneh. Menurut saya, dia hanya berbeda dari gadis lain sebayanya. Kala teman-temannya ramai berceloteh di sekolah, mengejar-ngejar anak laki-laki, dia malah mengurung diri di dalam sangkar beton itu. Ketika malam, dimana gadis seusianya belajar, menonton televisi, atau mungkin menikmati kencan, dia malah melantunkan nada demi nada yang melankolis. Melodi yang sama setiap hari. Namun tidak membuat saya bosan mendengarnya. Melodi yang selalu menusuk-nusuk hati dan pikiran saya, membuat saya sakit dan menangis, tapi tetap merasakan nikmat luar biasa. 

Malam ini, piano itu bernyanyi lagi. Menyanyikan lagu ninabobo bagi saya. Saya kembali membukan jendela lebar-lebar. Membiarkan musik itu masuk dalam saya, relung hati saya, bersama dengan nyamuk-nyamuk yang kelaparan.

Saya ingat dengan ibu saya. Ibu yang tegar, tegas dan sangat berwibawa. Tapi juga sangat keras kepala. Ibu yang tidak pernah absen mendesak saya untuk berkeluarga. Saya tahu ia ibu saya, orang yang berjudi nyawa saat anak kesayangannya memberontak keluar untuk melihat dunia yang katanya indah tapi busuk di baliknya.

Saya mengerti tentang keinginannya memiliki seorang cucu dari lelaki sematawayangnya ini. Tapi saya tidak bisa mengumbar nafsu pada setiap wanita yang datang dan pergi di hati saya. Wanita dengan madu melumuri tubuhnya, membangikitkan gairah, dan setelah itu meracuni saya. Saya tidak mau. Biarlah harga diri saya hancur, asalkan saya tetap bahagia menikmati yang ada.

Kejengahan saya meracun saya untuk meninggalkan ibu. Meninggalkan orang-orang yang saya cintai, rumah yang penuh kenangan manis, meracun kaki saya untuk melangkah ke dunia baru. Dunia yang independen, individual, di mana masyarakatnya tidak suka mengobok-obok masalah orang lain. Dunia yang benar-benar berjodoh dengan saya, saat itu.

Saya terhenyak ketika melodi pianonya terhenti. Saya menghisap rokok dalam-dalam. Bagi saya, pria dengan rutinitas kerja rendah, rokok merupakan sahabat suka dan duka. Kala suka, saya berteman dengan rokok filter berkemasan mewah. Kala saya susah, rokok klobot pun jadi teman penghibur saya. Rokok benar-benar tidak tergantikan kedudukannya. Andaikan saya adalah rokok pria, saya akan mencari rokok wanita sebagai pendamping hidup saya. Rokok tidak punya perasaan. Kalaupun saya jadi rokok pria ayng ditinggal lari istrinya, saya tidak akan merasa sakit hati. Toh sebagai sebatang rokok, saya tidak harus memberi dan pasangan saya tidak harus menerima. 

Rokok tidak pernah menyakiti sesamanya. Rokok membakar tubuhnya sendiri untuk menemani saya dan orang tua yang punya masalah seperti saya. 

Saya masih menyedot filter saya. Melodi itu kembali menari-nari di telinga saya. Menusuk dan merobek-robek perasaan saya. Menyakiti saya dengan sangat indah. Saya benar-benar merasa nyaman. Asap rokok mengisi rongga dada saya dan piano itu terus merobek-robek menjadi berdarah dan bernanah.

Saya menyukai Irma, gadis yang selalu melukai saya dengan pianonya. Gadis itu selalu mendendangkan lagu yang mengantar saya pada impian dan harapan saya. Saya menyukai gadis yang layak dianggap sebagai cucu saya, gaids yang melukai saya, tetapi kemudian menyembuhkan saya. 

Alunan piano Irma terhenti. Mungkin dia merasakan beban di hari saya. Mungkin merasakan perang batin antara si baik dan si jahat. Tapi tidak mungkin, saya tidak punya ikatan darah dengan Irma. Bercakap-cakap saja tidak pernah, bagaimana saya punya ikatan batin dnegan dia? Saya rasa, saya terlalu banyak mengkhayal. Pikiran saya sudah diracuni oleh Irma. Kasarannya begitu.
*
Hari ini, saya bangun kesiangan. Saya masih merasa lemas. Mungkin karena tadi malam saya terlalu banyak menyedot rokok. Atau mungkin saya kehabisan tenaga melawan racun yang merasuki diri saya.

Saya membakar rokok dan menyedotnya dalam-dalam. Melodi itu mulai lagi. Saya seakan menari-nari di atas balok-balok hitam dan putih yang tersusun rapi. Melodi yang mengiris-iris saya. Musik yang menusuk-nusuk saya.

Melodi pianonya semakin memilukan hati saya. Mengoyak-ngoyak luka yang sudah menganga sedemikian lebarnya. Telinga saya panas dan terasa sakit mendengarkan melodi yang dimainkan Irma. Cairan panas keluar dari seluruh tubuh saya, melelehkan raga saya. Tapi saya gembira disiksa seperti ini, saya gembira, bahagia merasakan sakit yang sedemikian sakitnya, walaupun saya tahu pasti, melodi ini perlahan-lahan membunuh, menggerogoti hidup saya.
*
Saya melihat Irma duduk di sebelah saya. Dia datang sendiri tanpa pembantunya. Dia duduk tenang, memejamkan mata sebentar, mencium kening saya, lalu meninggalkan saya yang sedang tidur-tiduran sendirian. Dia meninggalkan saya di tempat sepi ini. Mungkin dia merasa ini tempat cocok untuk saya. Saya merasa begitu. Saya melihat banyak tidur-tiduran sama seperti saya. Tapi saya tidak suka. Saya ingin protes, saya ingin ikut Irma, saya ingin terus disakiti dengan melodi pianonya, Tapi saya tidak bisa. 
Penulis: Margaretha Yessi Budiono
Siswi SMAK St Louis I Surabaya 

Inyik Lunak Si Tukang Canang

Inyik Lunak Si Tukang Canang


Pada  masa PRRI, Otang, teman Si Dali, pulang  kampung. Seperti  banyak  orang lain sebelum APRI  menyerbu.  Otang seorang gembong. Juga bukan pegawai  negeri. Kalau Otang pulang kampung juga, hanyalah karena alasan  khusus. Katanya,  karena solider pada Pak Natsir, tokoh  idolanya, yang  mengirimnya magang di peternakan  Amerika di Florida selama  setahun. Tapi pengetahuan peternakannya itu  tidak bisa  dipraktikkan di kampungnya. Selain  hambatan  sosial        budaya, juga oleh masalah modal. Karena itu  dia  menetap saja  di Jakarta. Menunggu perobahan kondisi  dan  situasi yang akan dapat mengangkat martabat dirinya. 

Katanya,  betapa dia tidak akan solider. Dari  seorang berayah pemilik warung, lalu berkesempatan melihat Amerika yang  serba wah seperti yang diangankannya  ketika  nonton film-filmnya. Bahkan  lebih daripada solider  itu,  ialah karena perasaan malu pada diri sendiri bila tidak solider. Otang menikah sebelum dia ke Amerika. Alasan orang tuanya  di kampung, agar Otang tidak kecantol pada  gadis di sana, lalu tidak mau pulang lagi. Pada mulanya Otang keberatan.  Namun  segera saja dia setuju  demi  ketemu  calon istri yang secantik bintang film Titien Sumarni. Bedanya hanya  tanpa tahi lalat di bibir atas. Ketika  kembali  ke kampung karena ikut PRRI, dia sudah punya dua  anak.  Dan selama  di kampung dia tidak bekerja apapun. Memang  tidak ada  yang bisa dikerjakannya. Karena semenjak  sekolah  di kampung sampai ke Amerika pun dia tidak belajar untuk bekerja. Dia belajar untuk jadi orang tahu tentang  berbagai ilmu. Dalam masa perang ilmu tidak berguna. Yang  diperlukan, kalau tidak senjata, ya akal. Minimal akal-akalan. 

Tibalah masanya kampung Otang diduduki APRI. Oleh  APRI disebut dibebaskan. Maka tiba pulalah masanya Otang  harus bekerja memegang pacul. Yaitu bergotong-royong massal  dan        ronda malam di kecamatan. Di kala gotong-royong semua lakki-laki berbaur. Apa orang tua, apa petani, apa guru, apa haji,  apa datuk, apalagi orang semacam Otang. Bagi  Otang sekali mengayunkan pacul, melepuhlah telapak tangannya. Telapak tangan melepuh, tidak dapat dijadikan alasan istirahat dari bergotong-royong.  

Yang  jadi  komandan APRI di kecamatan  itu  berjabatan Bintara  Urusan Teritorial, kronimnya Buter. Talib namanya. Sersan  Mayor pangkatnya. Orangnya  berbobot besar. Bedegab, kata penduduk. Suaranya bariton. Jika  berteriak, kecutlah semua orang. Berpacu bunyi pacul pada batu untuk mengeluarkan rumput. Lama-lama Buter Talib jarang mengawasi gotong-royong. Namun perintah gotong-royong datang  hampir  saban hari. Melalui seruan Inyik Lunak dari ujung ke ujung kampung, sambil memalu canang yang berbunyi cer cer cer. Karena pada paro bahagian canang itu sudah pecah. Dan suara  Inyik Lunak itu pun serak seperti selaput  suaranya juga pecah.  

Gotong-royong hampir setiap hari itu sangat menjengkelkan Otang. Juga semua orang. Bukan karena kehilangan waktu untuk  bekerja, juga merasa sengaja dihina  sebagai  orang taklukan. Sehingga setiap mendengar bunyi cer cer cer dari canang yang dipukul dan diiringi suara pecah Inyik  Lunak, lama-lama  berakibat pada ketidak-sukaan Otang pada  Inyik Lunak. Setiap berpapasan dengan Inyik Lunak di jalan, dia selalu melengos ke arah lain. Kalau lagi nongkrong di lepau Mak Mango di sudut pasar, lalu Inyik Lunak datang, dia buru-buru  pergi. Sebaliknya jika Inyik Lunak sudah  lebih dulu nongkrong, dia batal masuk lepau itu. 

Bahkan  Otang kian mual pada Inyik Lunak setelah  tahu, apa  yang  dilakukan Buter Talib ketika  semua laki-laki bergotong-royong. Bersama salah seorang kopralnya dia  masuk kampung  keluar kampung menzinai  istri-istri  orang-orang  PRRI yang terus bertahan di pedalaman. Kopral  Jono juga berbuat yang sama. Camat Basri yang orang kampung itu sendiri pun sama dengan  yang lain dan yang lainnya lagi. Pembantu Ispektur Polisi Hartono meniduri kedua anak gadis Sudira,  Sipir Penjara. "Mau apa kita? Bilang apa kita?" itulah  kata-kata yang keluar dari mulut  penduduk  negeri yang ditaklukan itu.  

Akhirnya,  meski  tidak ikut perang, cuma  karena  rasa simpati saja, dia harus membayar mahal seperti orang  taklukan yang lain. Sengsara jugalah jadinya Otang.  Sengsara bukan karena bersimpati kepada PRRI, melainkan karena  istrinya  cantik. Atun yang semula jadi istri dibanggakan, kini menjadi ranjau darat yang membelah-belah  jantungnya. Pada waktu penduduk diperintah gotong-rotong, Buter Talib mampir ke rumah Atun. Malah Buter Talib konon pernah menginap ketika giliran Otang ronda malam. 

Awal-awalnya Otang tidak tahu apa yang terjadi. Mertuanya  tidak memberi tahu. Apalagi Atun. Wajah  keruh  kedua perempuan  itu setiap Otang pulang  dari  bergotong-royong tidaklah difahami Otang. Pada mulanya memang begitu. Tapi ketika Inyik Lunah si tukang canang membisikkan agar Atun diantar ke kota, dia mulai membauni kasus yang sebenarnya. Otang mencak-mencak. Atun dicaci-maki karena tidak melawan perkosaan itu. Dia pun mengomeli ibu mertuanya yang bersekongkol.  

"Otang,  cobalah kau tempatkan dirimu sebagai si  Atun, atau  sebagai  aku sendiri ketika bencana  itu  tiba. Apa mungkin  kami melawan? Apa mestinya kami  mengadu  padamu, supaya  Si Talib yang berkuasa itu kau hajar?" kata ibu mertuanya setelah gelegak darah Otang mulai mereda.      

Otang  tidak terhibur. Setumpuk sesal menghimpit  dirinya. Menyesal dia tidak ikut memanggul senjata  melawan APRI. Kalau dia jadi tentera PRRI, pasti dia akan menembak APRI semacam Buter Talib itu. Dua hal yang tidak mampu dia sesali.  Pertama dia pulang kampung karena alasan  solider pada Pak Natsir. Kedua karena Atun begitu cantiknya. Tapi membawa  isteri dan anaknya pulang kampung karena yakin PRRI akan menang perangnya, adalah salah perhitungan  yang paling disesalinya.  

Dia  marah pada  Buter Talib. Marah sekali. Juga benci dan  jijik. Tapi nyalinya hilang demi melihat semua orang berbaju hijau, seperti Buter Talib lebih-lebih. Dia sadar, bahwa  dia bukan laki-laki yang jantan. Karena dia tidak pernah  belajar jadi jantan, sejak dari sekolah sampai  ke Florida sana. Dia hanya mendengar dan menerima  apa  kata guru dan kata buku. 

Maka ketika Bupati Kasdut, teman sekolahnya dulu yang kapten  pangkat militernya, datang inspeksi ke kecamatan, Otang  menemuinya. Diceritakannya perilaku tentera pada penduduk......."Kalau cara APRI datang membebaskan daerah ini menjunjung rasa kemanusiaan berbangsa, tiga bulan saja PRRI sudah habis. Tapi karena tentera bersikap ganas, merampok, memperkosa istri-istri orang, perang akan lama. Karena  PRRI  tidak  akan menyerah  kepada musuhnya yang ganas, walaupun bertahun-tahun di hutan rimba." 

"Itu dunia tentera, Otang. Risiko buruk bagi yang kalah perang. Tentera orang awak pun sama ganasnya ketika  melakukan operasi militer ke daerah lain." kata Bupati  Kasdut yang kapten itu.

"Dengan bangsa sendiri mesti berlaku ganas?" 

"Itu  kebijaksanaan komando agar rakyat di daerah mana pun tidak lagi berkhayal untuk berontak." 

"Menegakkan  kebijaksanaan dengan cara yang ganas itu apa APRI dapat menjadi pahlawan yang dicintai rakyat?" 

"Sampai saat ini kebijaksanaan komando tidak akan berobah." kata Kapten Kasdut yang Bupati itu. 

Otang  lalu  ingat slogan masa itu:  "Jika  takut  pada bedil, lari ke pangkalnya." Tak ada gunanya melawan  orang yang  sedang menang perang. Dan ketika Bupati  Kasdut kembali ke kota kabupaten, Otang minta ikut. Dan semenjak itu seisi kampung tidak ada yang tahu kemana dan dimana Otang. 

***
Dua puluh lima tahun kemudian, Si Dali ketemu Otang  di Jakarta. Di rumah Kasdut yang sudah pensiun dengan pangkat kolonel. Sudah  jauh beda gaya Otang. Tenang.  Terlihat alim.  Gaya bicaranya lembut. Lunak, menurut  Nawar. Dia memelihara jenggot. Model Haji Agus Salim. Putih warnanya. Di  kepalanya bertengger kopiah beluderu hitam yang apik letaknya. Si Dali tidak lupa padanya. Dia pun tidak. Tapi dia tidak bergabung dengan Si Dali di ruang tengah. Dia di ruang belakang dengan ibu mertua Kasdut yang berusia hampir delapan puluh tahun. 

"Dia  sudah jadi penghulu sekarang. Datuk Rajo Di  Koto nama  gelarnya.  Dipilih dan ditabalkan oleh kaumnya  yang merantau di sini. Kata orang, gelar itu disebut gadang menyimpang. Tidak lazim menurut adat. Urusan kaum itulah itu." kata Kasdut yang ketika sebelum pensiun telah ditabalkan pula jadi Datuk oleh kaumnya di kampung. Datuk Raja Kuasa  gelarnya. Gelar yang pantas bagi  seorang  kolonel yang pernah jadi Bupati. "Kalau aku, aku dapat gelar yang sah menurut adat. Disepakati oleh seluruh kaum di  kampung dan dirantau lebih dulu." lanjutnya kemudian. 

Si Dali panasaran kenapa Otang lebih suka berbaur dengan  nenek itu daripada dengan sahabat lama yang dua  puluh lima tahun tidak ketemu. Dugaan Si Dali jadi miring. Mungkin  dia tidak suka ketemu Si Dali, karena mau menghindar dari  luka lama masa perang PRRI. Luka karena Buter Talib meniduri  Atun. Kemudian menyerahkan Atun  kepada  Buter pengganti dan penggantinya lagi. Tapi itu cerita lama. Apa dia  masih dendam setelah Buter Talib  dan  teman-temannya membayar dosa-dosanya setelah pemberontakan komunis dikalahkan? "Dia sudah dua  kali ke Mekkah." kata Kasdut selagi Si Dali merenung. Katanya lagi seolah-olah tidak begitu penting: "Ibu mertuaku membawanya jadi muhrim. Duitnya tentu saja dari aku. Dari siapa lagi, bukan?" 

Sejak berangkat dari kampung, keluar dari daerah  peperangan, Otang ke Jakarta  membawa segala luka dan perih di hati. Kota itu diharapkannya mampu melupakan  masa  lalu. Nyatanya kota  itu lebih menaburkan racun masa lalunya. Terutama melihat  orang-orang  berbaju hijau seragam yang menggandeng perempuan, yang nampak oleh matanya tidak lain dari orang-orang  seperti  Buter Talib  yang  menggandeng Atun. Ada rasa mual mau muntah dalam  perutnya. Akhirnya dia mengurung diri di rumah iparnya tempat dia menumpang. 

Kalau  pun dia keluar rumah, tidak lebih jauh  dari  pagar halaman.     

Untuk membunuh sepi dia membaca buku-buku agama, karena buku-buku  itu tidak bicara tentang konflik yang melukai. Isi buku itu pun tidak untuk direnungkan. Karena dia tidak suka membebankan pikirannya. Koran atau majalah dihindarinya. Kalau tidak membaca, Otang mengerjakan apa saja  yang bisa dilakukannya di rumah itu. Membersih-bersih, membenahi kerusakan kecil. 

Akhirnya  dia keluar juga dari persembunyiannya  karena harus ikut menghadiri pemakaman seorang kemenakannya. Sekali keluar dari isolasi, hampir berterusan dia jarang di rumah  di siang hari. Hampir setiap hari dia berkunjung dari satu rumah ke rumah lain, yang semuanya adalah dunsanak atau orang kampung seasal. Dia diterima dengan  tangan dan hati terbuka. Meski oleh kerabat Atun. Terutama  oleh orang-orang tua yang telah kehilangan kesibukan, yang memerlukan sahabat dan kenalan tempat berkisah  menghabiskan waktu. Otang dapat mengisi tuntutan kebutuhan orang-orang seperti itu. Lama-lama dia tahu betul apa yang  diperlukan mereka. Perempuan-perempuan menyukai berita sekitar perjodohan dan kematian orang-orang seasal di kampung maupun dirantau. Laki-laki lebih menyukai berita situasi di kampung atau reputasi orang-orang sekampung mereka. Yang  pegawai suka  pada  berita kenaikan  pangkat orang-orang dikenal mereka. 

Otang  tidak mencari berita-berita itu. Berita itu  dia pungut dari orang-orang yang ditandanginya. Lama-lama jadilah  Otang sebagai sumber berita otentik. Dia  pun  tahu berita yang disukai oleh masing-masing mereka dan  masing-masing golongan. Lama-lama Otang seperti sosok yang dirindukan. Sama dengan kerinduan orang pada loper koran. 

Lama-lama Otang mendapat jodoh juga. Seorang janda dari salah satu keluarga yang secara rutin dia kunjungi. Bagaimanapun suatu rumahtangga memerlukan biaya. Meski  menurut kata mertuanya ketika melamarnya, Otang tidak perlu memberi belanja pada istrinya. Namun Otang adalah seorang laki-laki yang ingin istrinya berarti. Terpandang tinggi melampau  Atun yang secantik bintang film itu. Karena itu  dia perlu sumber nafkah. Pekerjaan yang menghasilkan uang. Pekerjaan apa yang dapat dilakukannya dalam umur yang sudah separo  baya itu? Bekerja di kantor? Kantor apa yang mau menerimanya. Berdagang? Dagang apa? Apa dia bisa? Modalnya mana?  Otang  bingung. Waktunya sehari-hari lebih banyak habis  mencari kemungkinan mendapat pekerjaan yang sesuai dan  pantas. Pagi dia sudah keluar rumah, menjelang malam baru dia pulang. 

Semua  orang-orang tua yang dikunjunginya secara  rutin itu  pun bingung. Mereka bingung karena Otang tidak lagi datang.  Kemudian ada seorang dokter tua yang tidak lagi praktek karena usia. Biasanya dia memanggil Otang menurut gaya lama: Engku Otang. Dokter itu berkata: "Engku  Otang, apa  yang Engku lakukan, sebetulnya sama dengan  yang  aku lakukan sebagai dokter mengunjungi pasyen. Paham?" 

Sebenarnya Otang tidak paham. Namun dia mengangguk  juga. Lama kemudian baru dia paham setelah berdiskusi dengan istrinya.  Mestinya dia dibayar pada setiap  kunjungan ke rumah-rumah itu. Jangan hanya dikasi makan atau minum setiap berkunjung. Lalu ketika akan pergi diselipkan  selembar uang ke sakunya diiringi ucapan: "Sekedar sewa oplet." Tapi  bagaimana caranya minta bayaran kepada  kenalan dan orang-orang  sekampungnya  itu? Rikuh rasanya. Menurutnya berkunjung  ke rumah-rumah orang itu bukan  suatu  profesi yang  bersifat komersial seperti dokter.  Namun  istrinya lagi  yang memberi gagasan. "Percuma saja Uda belajar di Amerika dulu." 

Sejak itu kunjungan-kunjungan rutin ke rumah-rumah  mereka itu dia kacaukan jadwalnya, baik hari maupun jamnya. Tentu  saja  dia disambut dengan rasa cemas dan sedikit omelan  manja. Alasannya Otang sederhana saja. Yakni oleh karena  ada kesibukan baru. Maklum dia sudah beristri dan bertanggung-jawab  kepada rumah-tangganya.  Kadang-kadang dia  katakan  betapa sulitnya dia dapat bus atau oplet. "Kenapa tidak pakai taksi saja, Engku." kata mereka pada umumnya. Nah, sejak itu Otang mendapat biaya taksi. Padahal dia tetap memakai kenderaan umum. Pada perempuan tua yang suka bicara agama, Otang tahu sekali kisah yang mereka sukai. Misalnya kisah Nabi Musa masa kecil yang  dihanyutkan ibunya di Sungai Nil, lalu terdampar dekat  istana Firaun. Atau kisah Zulaika yang tergila-gila pada Nabi Yusuf, Atau kisah kesetiaan Khadijah pada Nabi Muhammad dan sebaliknya.  Kalau ada kasus yang aktual, Otang  tak  lupa mengkajinya dengan menyitir Al-Quran atau Hadist Nabi. Tak obahnya seperti seorang dai yang handal. Adakalanya  dibawanya buku agama untuk perempuan-perempuan itu, yang dibelinya  di kaki lima simpang Kramat. "Buku ini bagus, Uni. Ada tulisan Arabnya. Ada Latinnya. Berulang-ulang membacanya, kian dekat kita kepada redha-Nya." kata Otang. Taklah lupa  pula dia membacakan sebagian isinya. Tentu saja  ketika akan pulang, perempuan-perempuan itu mengganti dengan berlipat ganda harganya, di samping memberi biaya taksi. 

Oleh karena perantau seasal kampungnya banyak di Jakarta,  rata-rata yang dapat dikunjunginya tiga empat rumah dalam sehari. Tujuh hari dalam seminggu. Masing-masing dikunjunginya sekali sebulan untuk orang-orang kaya atau pejabat. Sekali dua bulan untuk golongan lain. Pada hari seperti menjelang Idul Fitri atau setiap pedagang atau pengusaha  selesai tutup buku tahunan, Otang kecipratan rezeki yang  bernama zakat banyak. Oleh orang-orang kaya  seperti itulah Otang sampai bisa dua kali ke Mekkah. Sekali dia pergi bersama istrinya. Semua orang memberinya uang. Ada dollar.  Ada real. Bahkan yen. Tentu saja ada rupiah.  Dan semua dengan iringan basa-basi: "Sekedar pembeli korma." Lumayan banyak. Hampir sebanyak ONH Plus.                                   

***
Otang jatuh sakit. Kena stroke dan komplikasi lainnya, kata dokter. Di rumah sakit dia dirawat di bangsal. Setelah  semalam dia dipindahkan ke ruang VIP. Karena ada  banyak  kenalannya  yang menjamin biayanya.  Waktu Si Dali melayat, banyak karangan bunga pada berjajar di gang arah kamar  Otang  dirawat. Di kamarnya yang luas pun puluhan keranjang hias buah-buahan. Pada setiapnya ada kartu nama. Karena ingin tahu, Si Dali membacai kartu nama itu.  Kartu nama pada karangan bunga di gang itu pun dia baca. Ada nama profesor yang top, pengusaha klas kakap, pejabat tinggi, staf ahli menteri dan juga nama Kasdut. 

Otang membuka matanya ketika Si Dali memanggil namanya dekat ke telinganya. Lama dia menatap Si Dali dengan pandangan  yang sayu. Seperti banyak yang akan  dikatakannya. Trenyuh juga hati Si Dali. Namun dia tidak menampakkan betapa perasaannya. Dia coba tetap tersenyum untuk meyakinkan  Otang bahwa sakitnya tidak gawat. Lama juga  Si  Dali meremas  lembut lengan Otang yang tidak dipasangi alat infus. Sampai Otang memicingkan mata seperti mau tidur.       

Suara pelan pelayat yang duduk di sice terdengar nyata ke telinga Si Dali. Mungkin juga ke telinga Otang.  "Engku Datuk  ini manusia langka. Takkan ada  penggantinya  kalau beliau tak kunjung sembuh." kata yang seorang. 

"Beliau seperti perangkat komunikaai hidup." ulas yang lainnya lagi.          

"Tak obahnya seperti Inyik Lunak di kampung kita.  Pembawa berita suka dan duka keliling kampung sambil  memukul canang yang khas bunyinya karena telah pecah sebagian." 

"Tapi  Inyik Lunak dengan canangnya cuma menyampaikan berita buruk saja." kata yang lainnya lagi. 

Tiba-tiba  Si Dali merasakan getaran kuat pada lengan Otang  yang dipegangnya. Demikian juga kaki Otang  seperti hendak menerjang-nerjang. "Panggil dokter." kata Si Dali seperti berteriak. Dan semua orang serta merta berdiri di sekiling  ranjang Otang. Memandang dengan rasa cemas. Bingung karena tidak tahu mau melakukan apa. Tak lama  kemudian  dokter  tiba. Semua pelayat disuruh keluar. Mereka menanti di ruang tunggu khusus pelayat  dengan perasaan masing-masing. 

Si  Dali duduk pada kursi fiber.  Pikirannya  tertumpah pada kondisi Otang yang tiba-tiba gawat. Pikirannya menjalan kemana-mana dalam mencari sebab-sebab Otang yang secara tiba-tiba gawat itu. Apa Otang merasa tersinggung karena  mendengar kata-kata salah seorang pelayat, yang  menyamakannya  dengan  Inyik Lunak di tukang canang dengan canangnya yang pecah? 

Si Dali yakin menyebut nama Inyik Lunak dekat Otang, apalagi menyamakan dirinya, membangkitkan luka masa lalunya. Masa lalu ketika perang berkancah di kampung halamannya. Ketika negara memandangnya sebagai pengkhianat  bangsa. Ketika istri dan mertuanya sama mengkhianatinya. Ketika ukuran dan nilai kekhianatan tidak lagi jelas.                                       


Kayutanam, 5 Desember 1997.

Entri yang Diunggulkan

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia

Posting Populer